XLVII

15.9K 2.1K 272
                                    

            Rose berpikir dan terus berpikir. Semua hal yang ia lakukan bersama Mikael seakan terhempas begitu saja. Sudah jauh mereka melangkah bersama tetapi tatapan Mikael kepada Keneisha—atau yang Rose kenal sebagai Patricia—seolah-olah menarik mereka mundur ke titik awal. Rose tahu. Ia tidak bodoh untuk tidak mengenali cara Mikael menyebut nama Keneisha dan kemarahan pria itu yang begitu besar sepulang mereka dari rumah sakit. Semuanya terlihat dengan sangat jelas. Terlalu jelas sehingga ia yakin pria itu akan segera hilang. 

            Kehilangan Mikael? 

            Apa bisa ia kehilangan orang yang dari awal tidak pernah ia miliki bahkan sebentar saja?

            "Maaf Mbak?" Suara Andaka membuat Rose mengerjap dan ia sadar ia masih berada di dalam penthouse Mikael. 

             Sejak Mikael menyebut nama Keneisha di rumah sakit tadi, pria itu tidak lagi berbicara apa-apa dan langsung menarik Rose menuju mobil. Mikael sama sekali tidak berhenti melepas tangan Rose sepanjang mereka di dalam mobil sampai ke depan penthouse. Ketika Rose ingin melepas tangan mereka, Mikael justru mengeratkan pegangannya sambil membuka pintu penthouse sehingga Rose yang tidak berani berbicara itu hanya mengikutinya. Ia takut Mikael akan semakin marah jika ia berbicara dan merunyamkan kepala pria itu.

            "Mbak dicari Pak Michael di bawah," ucap Andaka lagi. 

            "Iya, sebentar lagi saya turun. Mikael sudah ganti baju belum? Tadi dia kehujanan," kata Rose sehingga Andaka menahan senyuman.

           "Sudah, Mbak. Tadi kan waktu sampai Pak Michael langsung masuk ke kamar."

           "Oh, iya juga." Rose menepuk dahinya. " Ya sudah, kamu jangan bilang saya sedang di perpustakaan. Bilang saja lagi pakai toilet di kamar tamu," Rose membalas dan Andaka terlihat bingung tetapi mengangguk.

           "Tolong, ya, Andaka?" Sekali lagi Rose meyakinkan.

           "Siap, Mbak." Andaka mengangkat ibu jarinya sebelum beranjak pergi dari perpustakaan.

            Rose menghela napasnya. Tadi ketika Mikael meninggalkannya di ruang tamu untuk ke kamar tanpa sepatah kata pun, hanya ada satu ruangan di kepala Rose. Perpustakaan Mikael di lantai atas yang menyimpan memori pria itu. Rose ingat karena ia pernah membukanya dan ia merasa begitu bodoh karena ia lupa dengan wajah Keneisha. 

           Wanita itu kemudian menarik sebuah album yang disimpan Mikael di sudut rak dan membukanya. Ia tahu ini melanggar privasi Mikael tetapi ia harus meyakinkan diri bahwa dugaannya tidak meleset. 

           Rose kembali menemukan foto Mikael bersama teman-temannya termasuk Keneisha di sana. Kalau sekarang perempuan itu berkacamata dan berambut panjang, di foto ini ia tidak berkacamata dan rambut gadis itu dikepang sehingga ia terlihat cukup berbeda. Pantas Rose tidak bisa menebaknya.

           Foto itu cukup meyakinkan isi kepala Rose. Melihat senyuman lebar Mikael ketika merangkul gadis itu, Rose mengerti. Mereka pasti punya sesuatu dan Mikael pernah benar-benar tersenyum karena Keneisha. Sedangkan Rose, ia tahu ia tidak akan pernah bisa membuat Mikael bahagia seperti yang Keneisha lakukan. 

           Pada saat itu juga, Rose menerima sebuah pesan dari Vera di ponselnya.

           Vera Anindya: Siang Bu Rose. Sesuai informasi yang Ibu minta, jurnalis yang waktu itu mewawancarai ibu bernama pena Patricia Gabrielle dan memiliki nama asli Keneisha Autumn Patricia. Apakah ada lagi yang bisa saya bantu, Bu?

           Dan Benar. Tidak ada yang meleset. Rose mendongak untuk menghalau air mata yang mengantre di belakang pelupuk matanya sementara merutuki dirinya sendiri. Ini akan jauh lebih mudah seandainya ia tidak mencintai Mikael. 

Fleurs Séchées | The Golden Shelf #1 [RE-WRITE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang