LII

15.2K 1.8K 163
                                    

          Setahun yang lalu. 

          "Kak, kamu mandi buruan. Itu sebentar lagi keluarga Agrata mau datang."

          Iris Asmaralaya berdiri di ambang pintu kamar anak sulungnya, Rose Asmaralaya, yang sedang asyik membaca buku di atas kasur. Rose hanya mengangguk asal dan membenarkan letak kacamatanya yang merosot. Ia lalu menarik selimut di kakinya lebih tinggi lagi sehingga ibunya berdecak dan segera menghampirinya.

           "Kamu ini ya. Umur sudah dua puluh delapan, tapi kalau baca buku, semuanya dilupain. Lupa makan, lupa mandi, lupa tidur. Mama pusing kalau kamu begini terus, Kak. Mandi, ayo, cepet," Iris mengoceh. Wanita itu mengambil buku di tangan Rose lalu memelotot ketika Rose menggerutu sebal.

            "Ma, sebentar lagi, Ma. Itu tinggal bab terakhir. Lagi seru," kata Rose yang mengacak-acak rambutnya sendiri.

            Iris menggeleng takjub melihat tingkah anaknya. "Kak..., Kak. Gimana kamu mau punya pacar? Mama jadi cowok juga langsung kabur kalau diselingkuhin terus sama buku."

            "Ya berarti memang bukan jodohnya. Jangan dibuat ribet, ah, Ma," jawab Rose. "Mana bukunya?"

            "Sulit sekali mengerti cara pikirmu itu, Kak. Ini kamu yang terlalu idealis atau Mama yang bodoh, sih? Kok ya bisa kamu nggak pernah ada pacarnya, Kak..."

            "Ma, tadi perasaan Mama suruh aku mandi. Ini kenapa jadi bahas pacar?" Rose menendang selimutnya.

            "Ya, karena kamu sudah tua, Kak. Lagian gimana mau laku kalau kutu buku terus males mandi begini?"

            Karena tidak ingin ditanya-tanya tentang pacar lagi, Rose mengalah dan berjalan malas-malasan mengambil handuknya. 

            "Yang mau jadi pacarku banyak sekali, Ma. Tapi mereka belum baca Safe Haven, jadi aku tolak semuanya," balas Rose sebelum akhirnya masuk ke dalam kamar mandi.

             Iris melihat judul buku di tangannya. Safe Haven. Entah tentang apa buku ini sampai anaknya bisa berkata seperti itu. Iris menggelengkan kepala. Rose memang ada-ada saja.

             "Kak, nanti pake terusan ya. Awas kalau kamu pakai Stüssy sama jins robek-robek. Mama robek beneran nanti jinsnya!"

             Rose yang sedang keramas langsung kelilipan sampo ketika mendengar pesan mamanya. "Mama!"

***

             Kalau ada perempuan paling unik di keluarga Asmaralaya, Rose adalah orangnya. Setiap diajak facial, manicure, atau pedicure, oleh ibu dan adiknya, Rose selalu menolak. Ia memilih untuk menyetirkan mereka ke salon dan menunggu mereka selesai perawatan di toko buku atau di artspace terdekat. Bukannya tidak suka, tapi buat Rose itu bukan prioritas. 

             Sama seperti pasangan. Rose belum merasa berpacaran—apalagi menikah—adalah prioritas. Menyelamatkan perusahaan ayahnya yang hampir kolaps baru merupakan prioritas dan tanggung jawab utama karena sebentar lagi ia menggantikan ayahnya di kursi eksekutif. 

             Namun, ketika Rose mendengar 'misi penyelamatan' yang ditawarkan Ronald Agrata malam ini di meja makan rumahnya, wanita itu tidak setuju sama sekali. Menggadaikan hidup adiknya untuk menikahi Raeden Agratama yang hanya mereka kenal sebatas kolega, bukan pilihan yang baik. Setidaknya menurut Rose. 

             "Pa, aku pikir kita masih bisa cari cara lain. Bagaimana dengan Leclair Enterprises? Mereka pasti membantu kita kan? Dibanding Om Ronald, Papa lebih dekat dengan Om Arsen," Rose berkata kepada ayahnya ketika mereka berdua bertemu di dapur dan keluarga Agrata sudah pulang.

Fleurs Séchées | The Golden Shelf #1 [RE-WRITE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang