XVIII

14K 1.5K 74
                                    

          Sebelas tahun yang lalu.

          Tidak ada yang masuk sekolah Sabtu itu, kecuali pantia dan para pengisi acara pentas seni tahunan dua minggu lagi, serta ekstrakurikuler basket yang diperbolehkan bermain di lapangan sekolah. Saat itu, Mikael tidak lagi memiliki jadwal latihan basket karena ia sudah menginjak tahun terakhir masa sekolah menengah atas dan angkatannya tidak diikutkan turnamen bulan depan.

          Namun, hari itu Mikael tetap datang dengan memakai jersey basket yang ia banggakan. Kedatangan Mikael sebagai kapten basket membuat anggota yang lain merasa segan walau sebenarnya ia datang bukan untuk bermain. 

          "Kalian main duluan deh. Cadangannya gue," kata Mikael kepada teman-temannya.

          "Tumben banget lo, El. Ayo lah, nanti nggak ada yang jago three point sama free throw di tim gue," balas salah satu teman Mikael. 

          "Itu kan ada Kean," Mikael menunjuk sahabatnya, Keanu Alexander yang sedang mengikat tali sepatu. 

          "Kenapa sih yang jago main basket mukanya kayak lo sama Kean? Gue kayaknya udah ganteng juga, tapi nggak pernah jago," Ganesh Asvathama—sahabat Mikael juga—menyahut.

         "Makanya ini saat yang tepat untuk jadi pengganti gue. Biar lo keliatan jago kali ini." Mikael tertawa.

         "Halah, basi lo. Gue udah tahu niat lo dateng ke sekolah hari ini. Cepet ikut!"

         "Udah, gue di sini dulu. Jagain tas-tas lo semua yang banyak banget. Lagian bawa tas gede-gede udah kayak mau liburan aja." Mikael mencibir lalu duduk di atas tas besar yang menumpuk di pinggir lapangan. 

         Ganesh meledek Mikael sambil melakukan dribble, "Mendingan ke sekolah kayak mau liburan, El, daripada masuk sekolah cuma buat modusin cewek."

           "Lo kalo ngomong yang bener-bener aja, Nes," balas Mikael kesal dan melempar bola basket ke kaki Ganesh.

           "Sakit!" 

           "Dasar banci."

           "Ini kapan mau mulai?" Pertanyaan Keanu Alexander menghentikan pembicaraan Mikael dan Ganesh. Laki-laki itu menatap teman-temannya dengan malas. 

           "Iya..." Ganesh menjawab Kean, "Tegang amat muka lo, Ke. Santai aja bisa?"

           Kean hanya berdecak dan tidak lama dari itu mereka memulai permainan. Ketika semua orang di lapangan itu heboh memperebutkan bola, Mikael mengambil sesuatu dari tasnya sebelum melipir keluar dan beranjak ke auditorium di lantai paling atas sekolah. 

           Mikael mencari-cari. Ia tahu gadis itu ada di sini untuk mempersiapkan penampilan solonya di pentas seni nanti. 

           Lalu Mikael melihatnya. Seperti tanpa komando, bibirnya tersenyum begitu saja saat ia mendapatkan Keneisha sedang duduk di kursi penonton sambil membaca sebuah buku. 

           "Hi," sapa Mikael, mengambil tempat di sebelah gadis itu. 

           Keneisha tersenyum dan Mikael merasakan hatinya menghangat, "Hai, El. I didn't expect you would come by today. Basket, ya?"

            Bukan, Ken, aku datang karena aku rindu kamu. Tetapi Mikael menganggukkan kepala dengan jantung yang berdebar begitu kencang setiap kali Keneisha menatapnya. 

           "Lo bukannya ikut latihan? Malah kabur baca beginian," Mikael menautkan alis ketika mengambil buku yang sedang dibaca Keneisha. 

           The Notebook, Nicholas Sparks. Mikael mencatat judul dan nama pengarang buku itu di pikirannya.

            "Beginian? Enak saja. Ini Nicholas Sparks, tahu?" Keneisha menarik kembali bukunya dengan galak dan Mikael tertawa. 

            "Nggak tahu," Mikael berbohong supaya Keneisha menceritakan lebih banyak tentang buku itu. 

            "This is my favorite book. Pokoknya tentang Noah yang cinta... banget sama Allie, tapi karena status sosial nggak bisa bareng. But they ran to each other, Mikael, dan akhirnya mereka mati sama-sama. It's like the new Romeo and Juliet kind of story.

           "Nice. Jadi apa gue perlu baca bukunya?"

           "Iya dong! Baca yang The Notebook, dulu ya, El."

           "Memangnya ada lagi yang bagus?"

           Keneisha mengangguk, "Ada, Safe Haven. Bagus, tapi gue nggak suka karena di situ, ceweknya, Erin punya suami yang abusive banget. Nggak tega liatnya. Ya, walaupun nanti si Erin ketemu Alex Wheatley sih..."

            "Jadi apa yang harus di baca duluan? The Notebook atau Safe Haven?"

          Keneisha terdiam. Gadis itu benar-benar memikirkan jawaban yang tepat untuk Mikael. Padahal Mikael sama sekali tidak peduli dengan buku-buku itu dan ia hanya suka ketika Keneisha berbicara kepadanya.  

           "Terserah, deh. Dua-duanya bagus kok," jawab Keneisha. 

           "Oke," Mikael menjawab lalu menyodorkan sesuatu saat Keneisha membalik halaman novelnya. 

            "Buat lo," kata Mikael sambil tersenyum memberikan majalah berjudul Rêve, majalah yang selalu Keneisha baca kalau gadis itu datang ke rumahnya. 

            Keneisha membelalak sebelum meletakkan novelnya ke dalam tas dan menerima majalah itu dengan mata berbinar-binar. "Oh my God, Mikael..."

             "Edisi terbaru bulan ini," Mikael tersenyum dan ingin sekali memeluk Keneisha yang saat itu terlihat sangat bahagia. 

             "Thank you! Padahal gue baru berencana mau main ke rumah lo supaya bisa baca Rêve," kata Keneisha sambil membuka majalah itu. "Eh, bukannya yang bulan ini harusnya belum keluar?"

             "Iya memang harusnya masih seminggu lagi terbit di pasaran. Tapi kemarin gue diajak ke Papa ke kantornya. Terus ada itu di meja karena baru dicetak, gue inget lo, dan gue ambil."

             "Oh iya. I forgot you, Leclair, own the publishing," Keneisha menepuk dahinya dan melanjutkan, "Bilangin dong ke Om Arsen, majalahnya jangan mahal-mahal. Gue nggak sanggup belinya."

             Mikael selalu tertawa setiap kali Keneisha menggerutu karena majalah Rêve dijual mahal padahal ia suka sekali isinya, seperti hari ini. 

             "Nggak perlu. Selama lo bisa sama gue, lo bisa dapet Rêve gratis. Gue yang kasih," kata Mikael lembut, "Only for you, Ken, only you."

             Keneisha tertawa. "Oke, deal. Atau mungkin gue perlu kerja di CLAIR, perusahaan bokap lo? Gimana? Gue bakal dapet majalah gratis nggak?"

             Gadis itu kemudian tertawa lagi dan Mikael tersenyum saat menatapnya. 

            "You don't need to work at CLAIR, Kenny. You just need to stick with me, that's all."

***

NOTE

            Hi, semuanya. Maaf aku jarang punya author's note supaya kalian fokus sama ceritanya :) Tapi kali ini aku cuma mau berterima kasih karena kalian sudah punya waktu untuk mengikuti ceritaku ini, bahkan meninggalkan apresiasi seperti vote dan komentar. Now, looking at the ranks, aku tidak pernah berpikir cerita yang aku publish sebulan lalu akan mendapat perhatian secepat ini.

           That means a lot to me. Thank you.

Fleurs Séchées | The Golden Shelf #1 [RE-WRITE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang