LV

16.4K 2.2K 422
                                    

         Sepuluh tahun lalu, Mikael adalah kisah yang menyedihkan.

         Tujuh tahun. Tujuh tahun Mikael menjaga seseorang yang tidak pernah menjadi miliknya. Enam tahun Mikael berusaha memeluk bayangan dengan mencintai seseorang yang tidak pernah mencintainya. Enam tahun Mikael berharap ia berakhir bahagia bersama Keneisha, walaupun ia sudah tahu jawabannya adalah tidak. 

         Sekeras apapun Mikael mencoba, hati Keneisha tetap untuk Kean, sahabatnya sendiri. Ya, Mikael tahu. Sahabat macam apa yang menginginkan perempuan sahabatnya sendiri? Maka, Mikael tidak pernah mengatakan perasaannya secara gamblang. Buat apa? Keneisha juga tidak akan melihatnya. Perempuan itu akan tetap meninggalkannya.

          Ketika Mikael menunjukkan perhatian dengan terang-terangan, Keneisha lebih melihat Kean yang sikapnya begitu dingin. Ketika Mikael menolak Harvard di Amerika dan memilih Oxford di Inggris hanya untuk berada dekat Keneisha, perempuan itu hanya melihat Kean yang kuliah jauh di Harvard sana. Ketika Mikael lulus dengan predikat summa cum laude, Keneisha tetap melihat Kean yang sedang cuti kuliah dan terbaring di rumah sakit. 

          Tujuh tahun Mikael mencoba dan selalu gagal.

          Lalu akhirnya, Kean pergi. Sahabat terbaiknya pergi selamanya dan tidak akan pernah bisa kembali di saat ia belum sempat meminta maaf karena diam-diam menginginkan Keneisha. Kepergian Kean itu membuat Mikael memutuskan untuk berlari jauh dari Jakarta. 

           Itu alasannya. Rose Asmaralaya memutar menyimpulkan kembali cerita Tatianna Leclair yang ia dengar kemarin. Mikael terlalu menginginkan Keneisha sampai ia lari ke Prancis untuk menghapus semua perasaannya. Mikael melakukan apapun untuk bersama Keneisha, tetapi pria itu kalah. Dan Rose tahu dengan sangat jelas bagaimana rasanya menjadi kalah. Jadi, apakah salah jika sekarang ia membantu Mikael untuk menang?

         "Rose, aku sedang meminta maaf tentang kemarin. Kamu dengar tidak sih?" 

         Rose mengerjap beberapa kali dan melepas lamunan dari jendela mobil yang dibasahi gerimis hujan. "Ya, Rae. Aku dengar kamu." Aku bahkan tidak tahu kamu bicara apa.

          "Coba ulang kata-kata aku tadi," titah Raeden di sampingnya. 

          Rose menarik napas sehalus mungkin. Ia berada di fase 'biarkan dan terima semua yang terjadi' karena ia sudah terlalu lelah. Wanita itu tidak lagi gelagapan menjawab perintah Raeden. 

           "'Rose, aku meminta maaf'," kata Rose, seakan mengulang perkataan Raeden.

           "Salah. Aku tidak berbicara seperti itu," Raeden mengerem mendadak dengan sengaja saat mereka berhenti di lampu lalu lintas Dharmawangsa.

           "Aku minta maaf." Rose menundukkan kepalanya.

           Raeden mencengkram setirnya kuat-kuat sebelum mengambil tangan Rose dan menghentaknya. 

           "Kamu jangan kelewatan, Rose. Aku meminta maaf dan kamu mengabaikan aku begitu saja? Apa maksud kamu? Mau sok galak?" tanya Raeden dengan tinggi.

           "Jangan banyak gaya," ucap Raeden lalu menoyor kepala Rose sampai terbentur jendela mobil.

           Rose sekali lagi menarik napasnya namun kali ini terlalu keras sehingga Raeden mendengarnya. Pria itu langsung menoleh karena tersinggung. 

            "What was that for? Kali ini mau sok sabar kamu? Rose, sudah kubilang jangan banyak gaya!" Raeden berseru kepada Rose.

           Lampu lalu lintas telah berubah menjadi hijau tetapi Raeden masih memelototi Rose. Mobil-mobil yang mengantre di belakang Ferarri hitam Raeden mulai membunyikan klakson karena pria itu tidak kunjung mengemudikan mobilnya.

Fleurs Séchées | The Golden Shelf #1 [RE-WRITE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang