LXXVIII

6.5K 864 28
                                    

       Sudah lebih dari satu jam Mikael memandangi dua pasang sepatu mungil berwarna biru dan pink di atas meja kantornya. Pria itu masih ingat jelas bagaimana ia memilih sendiri dua pasang sepatu itu yang ia kira akan dipakai kedua anak kembarnya saat mereka bermain di halaman belakang rumah mereka. Michael Leclair mengulang lagi kata itu di kepalanya, aku telah gagal.

       Mikael benci setiap kali ia teringat janjinya kepada Rose bahwa ia akan menjaga wanita itu dan anak-anak mereka. Ketika beberapa waktu lalu Rose bersikeras menjauhinya dan mencoba berpisah dengannya, Mikael setengah mati mengejar Rose yang saat itu ketakutan serta memiliki beban trauma di hidupnya. Mikael menyesali dirinya sendiri yang dengan berani berjanji bahwa Rose tidak perlu merasa takut karena mereka akan melalui trauma Rose bersama-sama dan Mikael akan melindungi Rose. Wanita itu telah mempercayai Mikael dan pria itu mengingkarinya. 

       Tidak hanya ingkar, tetapi Mikael juga menghancurkan Rose. 

       Bahkan tidak hanya Rose, tetapi juga kedua anaknya.

       Seharusnya Mikael ada di sana. Seharusnya Mikael tidak pergi dan membiarkan Rose sendirian. Seharusnya Mikael mampu mengalahkan Raeden Agratama. Terlalu banyak seharusnya, seharusnya, dan seharusnya. 

      Napas Mikael berderu lebih cepat. Dadanya terasa begitu berat seperti ada yang menekannya. Ia ingin menangis, namun air matanya tidak kunjung keluar. Mikael mulai lelah merasakan pisau yang ia asah setajam mungkin kini justru menusuk dirinya sendiri. Dunianya telah menjadi kepingan yang sampai kapanpun tidak mungkin bisa menyatu lagi. Bagaimana ia harus menerima kenyataan bahwa Rose dan anak-anaknya tidak akan kembali?

      "El."

      Mikael mengangkat pandangannya kepada Ragnala Christopheron Agratama yang ia tidak sadari telah masuk ke dalam ruang kerjanya. Theron terdiam dan menerima tatapan kedua mata Mikael yang datar dan memerah. Tanpa berbicara apapun, Mikael berdiri dari kursinya dan menuang malt ke dalam gelas di meja sebelah jendela. 

      "I didn't believe you are here, Michael. Alana bilang kepadaku kamu belum datang ke rumah sakit sejak Rose sadar," ucap Theron saat Mikael meneguk malt-nya.

      Tidak ada jawaban dari Mikael.

      "What are you thinking? Apa kamu kira Rose tidak membutuhkan kamu di sana?"

      Mikael masih tidak menjawab.

      "Kamu tidak bisa seperti ini, El. Aku datang ke sini bukan untuk mengucapkan ini semua, tetapi aku merasa aku harus melakukannya. How far do you think you can run from this?

       Pergerakan Mikael terhenti. Pria itu meletakkan gelasnya lalu memutar tubuhnya menghadap Theron. 

      "Michael, berhenti berpikir bahwa ini semua salahmu--"

      Ucapan Theron terputus saat Mikael melayangkan sebuah pukulan ke wajahnya. Theron mencoba melindungi dirinya, namun Mikael terus memukul Theron. Ketika melihat darah mengalir dari hidung dan bibir Theron, Mikael berhenti. 

      Pria itu menarik kerah Theron lalu berkata, "Jangan pernah mengatakan kalau ini semua bukan kesalahanku, Theron. Kamu tidak tahu rasanya dan kamu tidak akan pernah tahu."

      "Ya, tapi aku tahu di mana Raeden," balas Theron sulit.

      Mikael menautkan kedua alisnya dan melepaskan cengkramannya. Ia terduduk di lantai bersama Theron yang terbaring lemas. Sejenak Theron mengatur napas sebelum mengamati Mikael yang terdiam dan ia menyadari kekosongan di tatapan sahabatnya.

      "I'm so sorry for your loss, El. I truly do," kata Theron akhirnya.

      Mikael melirik Theron. "Lebih baik kamu beri tahu di mana Raeden. That's how you can show how sorry you are."

Fleurs Séchées | The Golden Shelf #1 [RE-WRITE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang