LI

16.3K 2.3K 367
                                    

          Kalau Rose pikir-pikir lagi, ia dan Mikael berdebat atas hal yang tidak jelas. Rose membuat batas tegas di antara mereka sebelum semuanya terlalu jauh di saat perempuan yang Mikael nanti-nantikan dari dulu sudah kembali. Memang sengaja Rose menyebut nama Keneisha malam itu. Ia penasaran apakah Mikael berniat menjelaskan tentang siapa Keneisha setelah pria itu memperlihatkan kemarahan dan kesedihan yang jelas-jelas tidak bisa ditutupi.

          Namun, tidak kan? Rose ingat kata-kata pria itu. Kamu tidak tahu apa-apa tentang aku dan Keneisha. Hanya itu. Tidak ada kalimat penjelas lain. Mikael tidak berniat memberikan penjelasan sehingga malam itu juga, Rose sadar di mana posisinya. Di luar.

          Seandainya. Seandainya saja. Seandainya Rose boleh berharap, ia ingin malam itu posisinya sudah cukup dekat untuk mendapat penjelasan dari Mikael. Dijawab tanpa penerangan sama saja menyatakan bahwa memang Rose bukan siapa-siapa. 

          Tapi jika benar begitu, mengapa pada saat yang sama pria itu juga memberikan pengakuan? Pengakuan bahwa Mikael tidak menyukai semua hal tentang Rose dan Raeden, bukan karena Mikael tahu Raeden pria yang buruk, melainkan karena ia cemburu.

          Untuk apa Mikael cemburu? 

         Kalau disuruh jujur, Rose akan mengaku ia cemburu saat tidak sengaja mendengar Mikael bertemu dan merindukan Keneisha. Perasaan itu wajar karena ia tahu ia mulai mencintai Mikael. Namun, kalau Mikael? Pria itu tidak mencintai Rose, jadi bagaimana bisa ia cemburu?

         Kamu membuatku bingung, Mikael. Rose berdecak untuk kesekian kalinya selagi menyandar di lift dan membenturkan kepalanya dengan pelan berkali-kali di sana. Ia sadar ia sedang berlari dari masalah yang ia ciptakan sendiri. Ia sadar ia semakin tenggelam di dalam perasaan yang seharusnya tidak boleh ada.

          Bel di lift berbunyi sebelum akhirnya pintu lift terbuka. Rose menatap lorong Senopati Suites di depannya. Bukan lorong di mana ia berlari mencari pertolongan ke pintu Mikael. Bukan lorong di mana setiap pagi ia menunggu lift bersama Mikael. Bukan lorong di mana Mikael duduk di lantai bersamanya ketika kode aksesnya error. Bukan lorong di mana Mikael tersenyum dan memberinya bunga mawar. Bukan lorong di mana Mikael menciumnya dengan sangat lembut di depan pintu masuknya. Bukan lorong itu.

          Notifikasi di ponselnya membuat Rose berhenti termenung dan mulai berjalan menuju pintu apartemennya. 

          Michael Leclair: Aku minta jaga dirimu baik-baik. Ya?

          Rose mendongak untuk menghalangi air mata di belakang pelupuk matanya. Tangannya yang sudah menyentuh door lock seketika menjadi sangat berat. Rasanya ia ingin menyetir pulang ke Langham, mencari Mikael, dan memeluk pria itu. Namun, tidak. Tidak bisa.

          Ia melirik jam tangan dan melihat waktu sudah sore. Harusnya jam segini Mikael sudah sampai di rumah dan bertemu Keneisha. Rose tersenyum. Ini sudah benar.

          Wanita itu memasukan kode akses dengan cepat. Ia ingin tidur. Entah ia lelah karena apa padahal seharian tidak ke kantor dan hanya menyetir di Jakarta tanpa arah.

          Ya Tuhan.

          Birkin di tangan Rose jatuh begitu saja ketika ia melihat seorang pria yang sedang duduk di ruang tamunya. Masalah. Masalah besar.

           "Raeden, kamu... di sini?" Rose tergugu.

          Raeden tersenyum miring. Ia berdiri lalu mendekati dan mengecup Rose. "Surprise."

          Rose membeku saat menyadari Raeden tidak benar-benar tersenyum. Pria itu kelihatan menyimpan rencana dan di waktu yang sama juga kelihatan marah. Napas Rose menderu ketika Raeden mengajaknya duduk di kitchen island. Pria itu mengambil sebotol sampanye dan menuangkannya dengan perlahan. Entah Raeden melakukan itu sengaja atau tidak, tetapi auranya sangat menakutkan.

Fleurs Séchées | The Golden Shelf #1 [RE-WRITE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang