"Tyler, please postpone the next meeting until after lunchtime. Saya mau cari kopi dulu di bawah," Mikael berkata kepada Tyler dan meletakkan pulpennya di atas meja.
Tyler cukup penasaran mengapa Mikael menunda rapat di saat pria itu selalu ingin menyelesaikan semua pekerjaan secepat mungkin. Namun, melihat Mikael menghela napas panjang dan terdiam menatap dinding kaca, Tyler yakin pasti atasannya itu punya alasan sendiri.
"Baik, Pak. Akan saya urus semuanya," jawab Tyler dengan mantap. Ia menunduk sopan sebelum keluar dari ruangan dan menyisakan Mikael di sana.
Mulai dari tadi malam, Mikael sama sekali tidak tenang. Pria itu gelisah sepanjang tidurnya dan hal itu berlanjut sampai siang hari ini. Fokusnya buyar berkali-kali. Ia tidak bisa menikmati pekerjaannya dan tentu saja, Rose penyebabnya.
Pria itu masih tidak habis pikir bahwa Rose seakan menganggap semua yang ia katakan semalam tidak ada artinya. Ia bahkan masih bisa mengingat dengan jelas cara Rose menatapnya seperti ia orang mabuk. Satu lagi yang sangat membuat Mikael tidak bisa berpikir jernih seharian ini adalah Rose meninggalkannya begitu saja. Setelah perdebatan alot mereka yang tidak punya jalan tengah semalam, pagi ini Mikael belum lagi melihat wajah wanita itu.
Mungkin memang benar Rose pergi ke Labuan Bajo. Mungkin untuk sekarang Rose lebih memilih berada bersama Raeden. Walaupun pada awalnya ia sangat yakin bahwa Rose akan meninggalkan Raeden sehingga ia berani mengusung pernikahan konyol mereka, Mikael tahu ia terpukul mundur setelah amarah wanita itu tadi malam.
Hal itu tidak mudah bagi Mikael yang menyadari bahwa ia sudah berada di titik di mana ia merasa Rose bukan sekadar 'teman' untuknya. Rose lebih dari itu. Kebaikan hati dan ketulusan wanita itu membawa Mikael melintasi perasaan-perasaan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya bahkan ketika ia bersama Keneisha.
Akan tetapi, di sisi lain Mikael sadar bahwa perasaannya kepada Keneisha juga belum selesai. Mikael ingin sekali perempuan itu mengetahui betapa marah dirinya selama ini. Mikael ingin sekali menatap perempuan itu di mata dan berkata bahwa ia merindukannya, tetapi ia tahu ia tidak bisa.
Tidak setelah ia mengkhianati sahabatnya sendiri dengan mencium Keneisha dan membawa rasa bersalah itu sepanjang sisa hidupnya.
***
"Ya ampun, saya minta maaf, Pak Michael."
Seorang karyawan laki-laki dari Cafe Kitsuné itu meminta maaf dengan wajah pias dan ketakutan. Ia tidak lagi berani menatap seorang Michael Leclair karena ia baru saja menumpahkan kopi di lengan Brioni dan membasahi Patek Phillipe pria itu secara tidak sengaja. Ia juga sudah siap jika setelah ini menerima omelan panjang atau pekerjaannya melayang seperti Mikael memecat temannya kemarin hari—yang akhirnya tidak jadi berhenti bekerja karena ada Rose.
Namun, karyawan itu tertegun saat Mikael hanya berdecak dan berkata, "Apa kalian yang bekerja di sini selalu menumpahkan kopi? You can't do that to every customer."
"Maaf, Pak. Saya tadi isi foam-nya kelebihan jadi tumpah."
"Tolong hati-hati lain kali. Ini kedua kalinya saya kena kopi dan saya tidak mau hal yang sama terjadi dengan orang lain lalu kafe ini punya rating buruk," ucap Mikael lagi.
"Baik, Pak Michael."
Mikael sedang duduk di salah satu kursi dan berusaha menghilangkan noda kopi ketika mengingat kejadian serupa beberapa waktu lalu saat Rose ada di sana untuk membersihkan jasnya. Hari ini, ia melakukan itu sendiri.
"Mana bisa hilang kalau pakai tisu kering?" Seorang perempuan duduk di depan Mikael sambil berdecak dan menyerahkan sebuah tisu basah kepada pria itu.
Mikael mendongak dengan lambat karena ia suara perempuan itu begitu familiar baginya.
"Keneisha?" Bibir Mikael masih kaku menyebut namanya.
Seperti Keneisha yang Mikael kenal, wanita itu bercanda, "Kamu dari kemarin cuma menyebut namaku saja, Mikael. Don't you want to say anything else?"
Banyak. Banyak sekali.
"Kamu ada urusan di sini?" tanya Mikael dan ia merasa sangat konyol.
Keneisha mengangguk dan mengelap lengan Mikael menggunakan tisu basah.
"Beli hot chocolate. Kata Abel ini cokelat panas paling enak dan dia bilang ini favorit kamu. Ya langsung aku coba lah. Kalau tentang cokelat dan kamu approve, sudah pasti beneran enak. You still love chocolate so much, right?" Keneisha mengangkat kedua alisnya dan tersenyum lebar. Senyum yang dulu menjadi favorit Mikael.
"Ya, aku masih suka cokelat," jawab Mikael. Ia memberanikan diri untuk bertanya, "Kamu masih suka juga?"
"Well, you know chocolate has always been my second favorite. Aku suka karena kena pengaruh kamu yang selalu minum susu cokelat dan kebiasaan kita makan cokelat langsung digigit, bukan dipatahin," balas Keneisha sebelum tertawa.
Mikael tersenyum pahit. "I know. Cokelat selalu nomor dua untuk kamu karena nomor satunya masih matcha, bukan?"
Pertanyaan Mikael terdengar aneh bagi orang lain, tetapi Keneisha mengerti maksud sahabat lamanya itu. Ia berhenti mengelap jas Mikael lalu menatap pria itu dengan lebih serius.
"Ya," gumam Keneisha pelan. "Anyway, kamu pesan hot chocolate juga?"
"Nope. Aku lebih sering minum kopi akhir-akhir ini."
"You're never really a fan of coffee, Mikael. Sembilan tahun mengubah selera minumanmu?"
Mikael menjawabnya dengan mudah, "Kurasa banyak hal yang berubah selama sembilan tahun ini, Keneisha. Aku menyukai cokelat, but when you lose your partner to enjoy it, pasti ada yang berubah."
Keneisha kehilangan kata-katanya untuk membalas Mikael sehingga ia terdiam beberapa saat sampai cokelat panasnya diantar. Ia berdeham kecil dengan harapan mampu mengurangi suasana yang mulai canggung.
"Eh, kemarin yang pergi sama kamu itu Rose Asmaralaya tunangannya Raeden Agratama ya? Waktu itu aku wawancara dia. I envy you and Alana for being her friends. Dia baik sekali."
Mikael menyeringai dalam hatinya. "Wawancara dengan nama pena kamu? Patricia Gabrielle?"
"Iya. Itu nama pena awalnya hanya aku pakai di lomba puisi di sekolah, ingat tidak? Kamu yang bikin nama penanya karena aku malu pakai nama asli," jawab Keneisha.
"Mana mungkin aku lupa? Aku bisa mengingat jelas semuanya. Semua," kata Mikael penuh penekanan dan berkata, "Stop pretending, Ken."
Keneisha menghela napas dan ia menggulung tisu basahnya. Ia sudah mencoba membuat percakapannya dengan Mikael sekasual mungkin, tetapi ia selalu kesulitan membalas setiap jawaban pria itu. Mikael seakan memaksanya untuk menyerah dan berhenti memberikan basa-basi yang tidak ada artinya.
"El," panggil Keneisha. Wanita itu meraih tangan Mikael dan menggenggamnya.
"Aku tidak sedang berpura-pura, Mikael. Ada beberapa hal yang harus dibiarkan begitu saja dan tidak bisa diubah. We just need to accept it. Seperti malam di mana kamu mencium aku, kita tidak bisa mengubah apapun. Aku sudah bisa menerima itu, El, dan aku ingin kamu melakukan hal yang sama."
Lalu yang ada hanya hening. Mikael menundukkan kepala dan Keneisha kembali bersuara, "Are you okay?"
Mikael mengendikkan bahu ketika menatap sahabatnya itu. "I don't know. I guess I just miss you."
***
![](https://img.wattpad.com/cover/240863448-288-k616091.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Fleurs Séchées | The Golden Shelf #1 [RE-WRITE]
RomanceA heartfelt tale. Michael Leclair has a neighbor. He never thought he would be able to love again after years had passed, but Rose Asmaralaya turned his world upside down in just a few weeks when she ran away and knocked on his door. For Michael, Ro...