LXXI

18K 1.4K 122
                                    

          "Besok kita ketemu Papa, kamu bisa?" Rose bertanya kepada Mikael dengan ragu.

          Mikael tersenyum kaku. "Bisa. Jam berapa? Aku ada meeting dulu sama McKinsey besok, is that okay?"

          "It's okay," jawab Rose.

          Kemudian sepanjang lift itu naik menuju penthouse, mereka hanya diam. Rose membayangkan bagaimana reaksi ayahnya besok, sedangkan Mikael memikirkan apa yang harus ia katakan kepada Edwin besok. Apa ia langsung saja bilang, 'Edwin aku sudah menikahi anakmu' atau 'Edwin aku sudah menghamili anakmu' atau apa?

          Lalu Rose harus bilang apa? Bagaimana caranya ia memberitahu ayahnya setenang mungkin di saat ia tahu ayahnya pasti langsung mengamuk dan menyalahkan dirinya sendiri?

          "Kenapa?" tanya Mikael yang memahami tingkah Rose.

          "Aku hanya takut menyakiti Papa," Rose berkata pelan. "Kamu bayangkan kalau anak kita perempuan lalu kamu baru tahu dia dipukuli pacarnya satu tahun kemudian? What would you feel?"

          Mikael menjawab susah payah, "Hancur." 

          "Exactly." Rose mengusap wajahnya. 

          "Rose," panggil Mikael sebelum mengeratkan pegangan tangannya. "We'll do it together."

         Rose menatap Mikael dan mengangguk. Mereka berjalan ke luar lift beberapa saat kemudian dan berhenti di depan pintu penthouse Mikael.

          "Ayo masuk," kata Rose bingung.

          "Disclaimer," Mikael menahan tangannya di gagang pintu. "Di dalam ada Vera yang akan membantu pekerjaan kamu dari rumah."

          "Katanya aku masih boleh ke kantor?"

          "Not after I know you're pregnant. Hold the meeting with teleconference, we do that often in the office. Besok setelah ketemu Papa kamu, set a board meeting to explain your pregnancy. Dan untuk jalan tengah, kamu bisa ke kantor kalau urgent. Oke?"

          "Kamu CEO Leclair Enterprises kok berani nyuruh aku buat board meeting? Who are you? Bahkan share kamu cuma aku kasih satu persen di perusahaan aku."

          "Who am I? Answer it yourself," Mikael menanggapi candaan Rose. "Dan aku cuma bisa punya satu persen saham Asmaralaya Industries karena kamu pelit."

         Rose menertawai suaminya dan ia menjulurkan lidahnya sebelum membuka pintu penthouse pria itu. Ia langsung melihat beberapa orang berkumpul di dalam ruang tengah Mikael dan terlihat seperti orang yang menunggu diberi perintah. Mulai dari Andaka, Pina, Vera, dan empat penjaga dengan setelan jas. 

         "Hai," sapa Rose ramah. Ia lalu menoleh ke empat penjaga itu sambil tertawa. "Are you like some kind of secret agent?"

         Ketika empat penjaga itu hanya diam dan tersenyum, Rose tahu ia salah bercanda karena memang empat orang itu adalah secret agent. 

         "Michael, this is too mu--" Rose berhenti bicara saat Mikael hanya menatapnya.

         Mikael kemudian berkata, "Rose, empat guards ini akan ada sama kamu setiap kamu pergi ke rumah. They will be invisble. Andaka akan mengurus makanan kamu, at times when I can't cook for you. Pina akan selalu menemani kamu dan bantu kamu beraktivitas. Lalu Vera mobile untuk urusan kantor. She can work in the office or here, any decision you want."

         Rose menghela napasnya dan memasang senyumnya. "Fine. Hello everyone. Keep in mind that I'm a pregnant woman, not a president nor Queen of England nor Sultan of Brunei nor Pope Francis. So, welcome to the club."

***

         Wanita itu menatap Raeden yang sedang menghisap rokoknya dengan dalam. Ia teringat bagaimana dulu Raeden selalu merokok setelah mereka selesai bercinta di atas kasur hotel. Mungkin sejak dulu Raeden hanya menganggapnya sebagai pelacur yang handal dan melihat hubungan mereka sebagai permainan. Namun, tidak baginya. Bagi wanita itu, Raeden lebih dari itu semua. Ia menyukai bagaimana Raeden menciumnya dan memuja tubuhnya sampai ia menyadari bahwa ia mencintai pria itu.

         Ia rela memberikan tubuhnya kepada Raeden. Bukan hanya untuk memuaskan hasrat seksual pria itu, melainkan juga sebagai samsak tinju Raeden yang hidup. Setiap kali Raeden kesal, ia akan datang untuk dipukuli dan ia akan meminta seks sebagai imbalan. 

         "Kenapa kamu kerja di situ?" tanya Raeden setelah memakai celananya.

         "Good money," jawab wanita itu yang masih duduk di kursi dengan kaki mengangkang dan telanjang karena Raeden belum memperbolehkannya untuk berpakaian.

         "Lalu kenapa kamu mau membantu aku?" Raeden menunjuk payudara wanita itu, menyuruh wanita itu untuk menyentuh dirinya sendiri.

         "Because you said you would fuck me every day if I help you," balas wanita itu dengan pelan dan kerlingan di matanya. 

         Raeden tidak kuat melihat pemandangannya. Ia menghampiri wanita itu dan kembali melepas celananya. "Dia sudah minta apa saja dari kamu?"

         "Proofs. Dia pikir aku bisa menjadi saksi ketika dibutuhkan."

         "Kamu memberikannya?"

         "Iya karena aku mendapatkan dua puluh juta di setiap bukti yang aku punya. Tapi aku memberikan bukti palsu. Aku mencari temanku yang KDRT."

          Raeden tertawa lalu menarik wajah wanita itu dan menciumnya kasar. "You're so smart."

           "Then, marry me," balas wanita itu manja.

           "Aku tidak mau," kata Raeden. "I just want to fuck you."

           "Then, fuck me." Wanita itu memegang Raeden, tetapi Raeden menarik tangannya.

           "Janji dulu kamu akan setia sama aku. You would do anything for me," ucap Raeden menuntut.

           "Sebulan lagi kan? Iya," Wanita itu berdecak. "Lagi pula kenapa sebulan sih? Kamu suruh aku besok juga aku bakal lakuin."

           Raeden mengusap payudara wanita itu dan berkata dengan senyuman miring di bibirnya, "It's called the calm before the storm, Sayang."

***

Fleurs Séchées | The Golden Shelf #1 [RE-WRITE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang