08. Euforia

1.4K 283 24
                                    

Naura berlari di belakang Devito, tangan keduanya bertaut, memasuki gang kecil di belakang SMA Dananjaya yang terhubung dengan perumahan warga. Naura tak tahu seberapa jauh ia dari kawasan sekolah, yang ia rasakan sekarang nafasnya terengah, larinya melambat, tidak begitu bisa menyamakan langkah dengan Devito. Sampai akhirnya langkah Devito melambat di depan rumah dengan halaman lebar dan berhenti tepat di sebelah pohon rindang di dekat pintu masuk. Naura jatuh terduduk, tak punya tenaga untuk berdiri.

"Wah ... " Naura berseru pelan, pandangannya mengedar, tak tahu harus menatap ke mana. Jantungnya berdetak hebat, kegugupannya lenyap, tergantikan oleh euforia yang mengaliri tiap saraf tubuhnya. Terasa asing tapi menyenangkan. Naura jadi mengerti kenapa banyak siswa yang memilih bolos meski peraturan Dananjaya cukup ketat.

"Masuk, yuk!" Devito menunduk, mengulurkan tangan untuk membantu Naura berdiri.

"Ini di mana?" Naura mendongak, beradu pandang dengan Devito yang berdiri menjulang di sebelahnya, tak terlihat kelelahan, bahkan Naura tak menemukan setitik keringat yang menempel di wajahnya.

Naura menerima uluran Devito, menumpukan seluruh berat badannya pada lengan Devito, hampir membuat keduanya terjatuh.

"Mak Tonah, langganan gua sama Julian kalo lagi pengin makan agak bergizi." Devito melepaskan genggaman Naura, berjalan lebih dulu memasuki rumah abu bergaya belanda diekori Naura. Mata bulat Naura menyipit, memfokuskan pandangan saat netranya menangkap beberapa lelaki yang memakai kemeja krem dan celana senada, sama seperti yang Devito kenakan, seragam sekolah Dananjaya.

"Si Bangke. Lama banget. Lo ke mana aja? Udah ditungguin dari tadi juga" Julian sedikit menggebrak meja, berdiri dari duduknya, menyambut kedatangan Devito dengan wajah berkerut.

"Bawel." Devito mendorong Julian menyingkir.

"Wah. Gila." Mata Julian membelalak, jatuh terduduk dengan dramatis, mulutnya menganga seperti melihat penampakan di siang bolong saat mendapati Naura berdiri tak jauh di belakang Devito. "Lo napa bawa anaknya Pur kesini?"

Devito menoleh mengikuti arah pandang Julian, sebelum menyahut, "Dia yang mau ikut."

"Beneran bukan lo yang maksa?" Tak percaya, Julian menarik bahu Devito agar kembali berdiri berhadapan.

"Nanya itu mulu. Dibilang enggak," kata Devito sembari melambaikan tangan agar Naura mendekat. Tak menghiraukan Julian yang masih meneliti sosok Naura yang berada di luar gerbang sekolah di saat jam pelajaran belum berakhir.

Naura melemparkan senyum saat melewati meja Julian, membuntuti Devito yang duduk di meja agak ujung, tepat di bawah kipas angin. Sedikit mengingatkannya pada malam pertama kali dirinya dan si tukang bolos ini saling bertukar sapa. Naura ingin tertawa, lelaki yang dulu ia tatap dengan kernyitan dan tanda tanya, kini duduk satu meja dengannya. Seraya menunggu pesanan datang, Naura mengeluarkan kertas buffalo bergambar dan gunting dari dalam tas, berniat melanjutkan pengerjaan mading.

"Lu beneran enggak dipaksa ikut?" Julian tahu-tahu mendekatkan mukanya pada Naura, memaksakan pantatnya untuk cukup pada kursi yang diduduki Devito. Lalu menunjuk Naura dan Devito bergantian. "Atau kalian berdua lagi PDKT?"

"Enggak. Kalo ngomong memang suka seenaknya lo, ya," sanggah Devito menjejalkan tempe ke mulut Julian

"Enggak, kok," ujar Naura mengamini. "pengin nyobain bolos aja."

"Enggak enak pacaran sekelas. Kalo berantem, enggak bisa ngehindar," lanjut Julian tidak menghiraukan jawaban Devito dan Naura.

"Serah lo, dah." Devito mengalah, tak mau meladeni omong kosong Julian, memilih melanjutkan makan siangnya.

Secret RendezvousTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang