65. Unexpected Twist

767 155 15
                                    

"Lo enggak istirahat? Makan sambil baca gitu?" tegur Hasna yang duduk di sebelah Naura, di bangkunya, menyeruput es lemon di gelas plastik yang ia bawa.

Naura mendongak, melirik kotak bekal di samping lembar UKBM yang masih tersisa banyak sedangkan jam istirahat pertama tinggal lima menit lagi.

"Lusa ada tes, kan. Aku takut nilaiku turun." Naura meletakkan pulpennya, mengambil satu suapan nasi dan ayam meski matanya tak lepas dari materi sosiologi yang ia pegang. Pak Gandhi baru saja memberitahukan soal tes harian yang akan diberikan pada jadwal selanjutnya dan itu berarti dua hari lagi, sedangkan Naura butuh waktu lebih lama untuk memahami pelajaran satu itu.

"Cuma tes harian, bisa ketutup nilai tugas sama nilai ujian," kata Hasna, mungkin tidak ingin Naura belajar sekuat itu hanya untuk tes harian yang bobot nilainya tidak seberapa.

Naura mengangguk, tersenyum tipis. Harusnya begitu, harusnya segampang itu, tapi bayangan wajah kecewa bunda, nada suara penuh amarah tertahan dan pertengkaran lain yang mungkin bisa terjadi karena ketidakpeduliannya pada nilai membuat Naura mual dan sedikit tercekat, tidak lagi ingin mengisi perutnya.

"Makanannya habisin dulu, deh." Hasna menunjuk kotak bekal Naura, menyuruh teman sebangkunya itu untuk menghabiskan makanannya terlebih dulu sebelum kembali belajar.

Naura mengangguk lagi, mendorong kertas materinya menjauh dan menggantinya dengan kotak bekalnya, menghindari menyentuh tumpukan kertas itu sebelum makanannya habis.

"Lo udah enggak pernah jajan di kantin lagi," celetuk Hasna, mengawasi Naura. "Lo pas istirahat lumayan sering duduk sama anak-anak kursi belakang."

Naura memelankan kunyahannya, menatap Hasna dengan pandangan bertanya. Tidak tahu jika Hasna memperhatikannya dan sadar dengan perubahan kebiasaannya. "Sekarang bawa bekal lagi." Naura menunjuk kotak nasi yang hampir habis di depannya, walaupun bukan itu saja penyebab Naura tidak lagi bergabung dengan Aditya dan teman-temannya. Hanya menghindar sebisa mungkin.

"Bukan karena berantem?" Hasna berucap lirih, seakan sedang menebak dan berharap tebakannya benar.

"Huh?" Naura menoleh dengan mata membulat kaget, meski Hasna tidak menyebutkan nama, tapi tetap saja membuatnya was-was. Lalu segera menunduk menutup kotak bekalnya yang sudah kosong.

"Sama Dito," lanjut Hasna, kali ini ia mencondongkan tubuhnya, berbicara lebih pelan. Terlihat yakin dengan ucapannya, sedangkan Naura membeku, serasa ditembak tepat dengan jantung yang tiba-tiba berhenti sejenak. Bukannya nama Aditya yang disebutkan, terlebih melihat bagaimana dekatnya mereka sejak awal kelas, tapi malah nama Devito yang selama ini berusaha membuat hubungan mereka tidak terlihat.

Naura memegang erat kotak bekalnya, memasukkan ke laci bangku sebelum menoleh dengan senyum tipis dan raut wajah yang dibuat sealami mungkin, "kok Dito?"

"Enggak ada yang tahu, tenang aja." Hasna berucap santai, melambaikan tangannya di depan muka.

"Huh?" Naura hanya menatap Hasna, tidak ingin menunjukkan reaksi berlebihan, di saat yang sama juga berusaha untuk menemukan sumber yang membuat Hasna berkata demikian.

"Lo bisa nutupinnya, lo kalau di kelas belajar mulu. Tapi Dito ...." Hasna menggeleng. "Itu anak kalau jam kosong sering ngelihatin lo mulu, padahal dari bangkunya dia yang kelihatan cuma rambut lo doang, kecuali gini ...." Hasna menyampirkan rambut Naura ke telinga kanan, "baru kelihatan muka lo, dikit."

Naura tanpa sadar melirik ke bangku belakang, lebih tepatnya bangku Devito yang masih kosong karena penghuninya entah masih di mana. Baru tersadar saat mendengar tawa Hasna, "Enggak usah khawatir, kayaknya enggak banyak yang tahu."

Secret RendezvousTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang