19. Back to page one

1.1K 228 12
                                    

Naura mengambil ponselnya yang bergetar di saku jaket Devito yang ia kenakan. Segera mengangkat panggilan masuk dari Mang Udin.

“Iya, Mang?”

“Neng masih lama? Ini ibu barusan datang, nanyain. Mamang bilangnya neng udah tidur jam segini. Terus ibu langsung masuk kamar.” suara Mang Udin terdengar sangat pelan, seperti sedang berbisik.

Naura spontan menegak, mengangkat tangannya untuk mengintip jam tangannya. Pukul 10.08, terlalu larut untuk Naura masih berada di luar rumah. Sepenuhnya tidak mengira jika Bunda akan pulang malam ini. Bunda lebih sering pulang satu hari sebelum janji atau acara yang akan ia datangi, berbeda dengan Ayah yang dapat pulang kapan saja, bahkan dini hari.

Kepulangan Bunda benar-benar diluar perkiraannya, meski pun Mang Udin sudah berbohong demi dirinya, rasa gelisah tetap saja menimpa seketika.

“Naya pulang sekarang deh, ya.” Naura berjalan menjauh dari meja, bergeser sepelan mungkin, tidak mau mengganggu pembicaraan Devito dan Satria. Tidak ingin menimbulkan kekacauan lain.

“Entar dulu. Biar ibu tidur dulu. Nanti Mamang bukain gerbangnya. Minta tolong temennya anterin dulu ya. Nanti ketahuan kalau Mamang nyalain mesin,” saran Mang Udin membuat Naura menghentikan langkahnya, makin bingung harus berbuat apa.

“Ini Naya harus gimana?” tanya Naura, bergantian melihat pintu yang hanya berjarak beberapa langkah dan melirik Devito yang sudah memutar badan memandanginya.

“Tunggu situ aja. Nanti Mamang telepon kalau udah aman. Seneng-seneng dulu aja sama temennya,” kata Mang Udin sebelum menutup panggilan begitu saja.

Bagaimana bisa bersenang-senang. Jika Bunda tahu jika Naura tidak ada di rumah selarut ini, Naura tidak bisa membayangkan apa yang akan ia dapatkan saat tiba di rumah nanti.

“Iya,” ucap Naura lemah, berbicara pada udara, lalu berputar kembali duduk di tempatnya tadi.

“Kenapa?” tanya Devito begitu Naura duduk.

Naura tersenyum tipis, menggeleng, lantas meminum milkshake coklatnya. Tidak mau menceritakan soal rumahnya ke Devito. Tidak penting.

“Satria.” Satria menjulurkan tangannya ke arah Naura. “Gua udah bacot dari tadi tapi belum kenalan.”

“Naura.” Naura mengerjap, mengontrol ekspresinya, kemudian tersenyum tipis membalas uluran tangan Satria.

“Sekelas sama Dito? Gua anak Dananjaya juga, 11 IPA 3.”

“Yang kemarin mergokin kita pas mau bolos. Yang Gua bilang anak PA,” tambah Devito, mengingatkan Naura pada hari paling menegangkan dalam hidupnya.

Naura sedikit menganga, tidak mengira jika cowok yang membuat jantungnya terjun bebas karena terkejut ternyata tidak seperti bayangannya, tinggi besar dengan wajah galak, tapi Satria tidak sama sekali malah tampak menggemaskan .

“Lah? Yang kemarin tuh ini?” Satria menoleh menghadap Devito seakan memastikan, lalu kembali memandang Naura. “Enggak kelihatan suka bolos.”

Naura ingin menghilang menemukan wajah terkejut Satria setelah mendapat anggukan dari Devito. Antara malu dan kagum pada diri sendiri menyadari bagaimana kesan gadis baik melekat erat padanya.

“Biasanya anak cewek kalau bolos lewat gerbang belakang, yang tembus daycare, tuh. Minta tolong satpam,” lanjut Satria

Naura sekedar ber-ooh ria, tidak menyangka akan mendapatkan informasi tidak terduga semacam ini.

“Mau pulang jam berapa?” tanya Devito, menyela omongan Satria

“Baru juga gua ajak ngobrol. Lo juga belum ketemu yang lain, dah mau pulang aja,” rengek Satria, menatap Devito seakan cowok itu manusia paling tidak asyik di dunia.

Secret RendezvousTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang