17. What is Love?

1.2K 246 30
                                    

“Sini dulu, ada yang mau gua tanyain.” Julian menarik Naura menuju kursi belakang tepat saat cewek itu mendaratkan langkahnya di dalam kelas. Mengambil alih keresek hitam dari genggaman Naura.

Naura sempat melirik tempat duduknya sebelum tertarik pasrah didudukkan di kursi Aditya yang kosong tanpa penghuni. Mengabaikan tatapan penuh tanya Raden.

“Gua mau remed Matematika, ajarin bentar.” Julian meraih buku matematika dari mejanya sebelum duduk di sebelah kiri Naura, di kursi Devito.

“Lo remed apa aja?” tanya Raden, memutar duduknya menghadap belakang.

“Matematika, Ekonomi sama Sejarah Indonesia.”

“Bisa-bisanya sejarah negara sendiri enggak bisa,” ledek Raden.

“Ngaca, anjing. Lo juga remed, enggak usah banyak gaya.” Julian menendang kusi Raden kesal.

“Dito mana?” tanya Naura saat tidak menemukan Devito tidak ada di kursinya.

“Remed Geo, dia sama Bu Pur kan udah kayak Uni Soviet sama Amerika. Kemusuhan.” jawab Julian sembari membuka buku paketnya.

“Dianya juga banyak tingkah,” sahut Raden.

“Kamu remed apa aja?” tanya Naura ke Raden

“Ekonomi sama Sejarah Indonesia,” jawab Raden. “Lo pasti enggak ada yang remed.”

Naura mengangguk, membenarkan. “Yang lain juga banyak yang enggak remed.”

“Ra, ini berarti tinggal masukin angka doang, kan?” pertanyaan Julian membuat Naura menoleh dan Raden kembali menatap depan.

“Matriks I, tinggal ngurutin Matriks T sama kayak Matriks B. kalau udah ketemu baru masukin ke pertanyaannya.” Naura menunjuk tiap-tiap yang ia sebutkan.

“Matriks gampang, njir. Gitu doang enggak bisa,” celetuk Raden tanpa menoleh.

Cot. Gambar lagi sana. Enggak usah gangguin gua.” Julian mendorong kursi Raden dengan kakinya hingga cowok yang lebih kecil dari Julian itu makin menempel ke tembok.

Julian mengerjakan sesuai arahan Naura, meminta bantuan di beberapa rumus lain. Setelah pasti dengan materi yang ia pelajari, akhirnya beranjak untuk mencari Pak Andre—guru matematika IPS.

“Tunggu sini jangan ke mana-mana.  Entar gua balik lagi,” pinta Julian sebelum menghilang di balik pintu. 

Naura mengangguk, duduk diam di kursinya. Lagi pula ia juga tidak memiliki keinginan turun untuk ikut dalam hiruk pikuk ramainya class meeting. Tiba-tiba terpikir beberapa orang yang ia kenal harus berlarian menemui guru tertentu demi ketuntasan nilainya sedangkan sebagian besar sekolah sedang bersenang-senang setelah dua minggu ujian.

Naura meraih keresek hitam berisi satu bungkus roti coklat dan susu full cream yang sempat ia abaikan, memakan dalam diam sembari mengamati kelasnya yang lengang. Hanya beberapa orang yang masih bertahan di kelas, bisa dihitung jari. Bahkan Raden yang tadi duduk di hadapannya sudah menghilang entah ke mana.

Setelah selesai dengan makanannya, Naura mengintip laci Aditya, mencari kertas kosong yang dapat dicoret-coret selama menunggu Julian. Naura lupa bertanya ke mana Aditya, sempat melihatnya tadi pagi, tapi belum kembali sampai sekarang. Cowok itu juga tidak mengabarinya. Semenjak jabatan sebagai kapten berhasil disandang, intensitas bertemu mereka makin kecil, tidak sesering dulu yang membuat Naura dan Aditya seperti saudara kembar karena sering bersama

Naura memasang earphone, melipat satu tangannya di meja sebagai alas kepala, menghadap tembok mencoret-coret kertas dengan beberapa gambar abstrak dan tulisan acak hingga tiap halamannya penuh.

Secret RendezvousTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang