42. Come to Light

909 182 75
                                    

Dananjaya berhasil menambah tiga poin dari tembakan jarak jauh yang dilakukan Aditya, berhasil membalik keadaan di kuarter ke dua.

Naura duduk tegang di kursinya, tidak menyahuti percakapan dari teman-temannya dan orang tua Aditya yang terlempar ke sana-sini sejak memasuki GOR. Bahkan saat Devito memanggil namanya, Naura hanya melirik lalu kembali memperhatikan lapangan. Hanya memusatkan perhatiannya ada Aditya yang berlarian menjaga bola. Bukan ada apa-apa, tapi ini salah satu pertandingan besar menuju akhir jabatan Aditya, Naura tidak bisa membayangkan seberapa besar rasa bersalah cowok itu jika timnya tidak bisa masuk Championship.

Peluit ditiup sebagai tanda pertandingan berakhir, dibarengi sorakan dari deretan tempat penonton suporter Alpha Theta, dengan skor final 57:73 dipimpin Dananjaya. Naura bertepuk tangan kecil, berdiri agar dapat melihat Aditya dengan jelas, mendapati cowok itu tersenyum menatap kerusuhan pendukungnya.

"Gua langsung balik ya, salamin ke anak basket, terutama kaptennya."

"Gua juga deh."

"Enggak nungguin mereka selesai?"

"Duh lama kalau tunggu sampe mereka beres. Gua duluan."

Suara obrolan di belakangnya bersahutan, penonton mulai berhamburan, tidak mau menunggu acara penutupan, hanya menyisakan beberapa siswa yang dapat dihitung dengan jari.

Setelah lapangan dibersihkan, penampilan dance dan cheerleader meramaikan lapangan. Pemuda energik menari sesuai ketukan ditambah lampu yang berkedip dan berubah warna sesuai dengan nada, membuat penonton kembali meriah. Mata Naura mengedar, di sekelilingnya tinggal Om Dirga, Tante Fany, Devito, Raden dan Julian. Di kursi agak belakang ada beberapa murid mengenakan blazer Dananjaya.

"Ketek lo basah, anjir." Julian mengibas-ngibaskan tangannya yang tidak sengaja bersentuhan dengan ketiak Aditya saat cowok itu berusaha membuka jalan. "Lo enggak kumpul sama tim lo."

"Mau nemuin Emak bapak gua bentar." Aditya melewati Julian begitu saja, mendekat ke Dirga dan Fany yang berdiri menyambutnya.

"Boleh, lah, Te, traktiran di mana gitu buat perayaan kemenangannya Adit." Julian menyeletuk, menatap Fany dengan wajah malu-malu.

"Ngucapin enggak. Malah minta traktir." Devito menarik leher Julian untuk dipiting, tapi cowok itu lebih dulu membelot melewati Raden agar terjauh dari Devito.

"Selamat Aditya-ku, sayangku, cintaku. Sini sun dulu sama Om." Julian melemparkan cium jauh di akhir kalimatnya, membuat anak cowok lain kompak bergidik dan serentak memberikan pukulan kecil di bagian tubuh Julian yang dapat digapai.

"Najis." Aditya membuat wajah jijik, menyampirkan tangannya di pundak Naura.

"Lihat weekend nanti ya. Sama lihat Aditnya sempetnya kapan," ucap Dirga setelah menertawakan kerusuhan anaknya beserta gengnya.

"Pah, kok diturutin, sih. Ntar ngelunjak." Aditya merengek, berucap kesal.

"Makasih banyak, tante. Saya selalu free kok asal enggak jam sekolah." Raden menyahut, tidak lupa menyelipkan candaan. "Tapi kalau harus, bisa bolos kok."

"Halah, tadi saja sok sokan enggak mau, jadi anak baik. Kalau sudah dapet juga tetap berangkat." Julian mendorong bahu Raden hingga bertubrukan dengan Devito.

"Pencitraan, lah," jawab Raden dengan suara pelan, lalu melemparkan senyum ke orang tua Aditya.

Fany tertawa kecil mendengar jawaban Raden, menepuk pelan pucuk kepala cowok kecil itu beberapa kali. Sepertinya gemas.

"Mamah sama Papah duluan aja. Adek masih mau after party sama ofisial yang lain." Aditya mencondongkan badannya, mendekatkan wajahnya ke telinga mamahnya. Ijin dengan suara lembut dan diangguki oleh Fany.

Secret RendezvousTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang