66. Unaware

733 172 28
                                    

Bel tanda dimulainya jam pelajaran ketujuh telah berbunyi, Pak Andre baru saja keluar kelas. Naura bergegas mengeluarkan lembar materi yang sudah penuh coretan dari dalam laci, mengulang kembali materi yang ia pelajari semalam untuk memastikan jika ia mengingat dan memahami semua poin yang telah ia tandai dan contoh lain yang sudah ia tambahkan dibeberapa sisi kosong kertas dan beberapa sticky notes yang dipasang di sana-sini, mengurangi jam tidurnya untuk memberi beberapa informasi tambahan selengkap mungkin.

"Ayo duduk sesuai nomor absen." Pak Gandhi baru saja datang, meletakkan lembar soal di meja. "cepet gerak biar waktunya enggak kepotong buat pindah tempat duduk."

"Mending enggak usah pindah tempat duduk," gerutu Hasna, mengemasi alat tulisnya sambil menghitung kursi sesuai nomor absennya.

Naura tersenyum tipis mendengar ucapan teman sebangkunya, lalu melakukan hal yang sama, memeluk kotak pensilnya, menghitung hingga nomor 18, kursi ujiannya di tempat duduk Raden. Berpapasan dengan Aditya yang akan menempati bangku Naura, mendapatkan tepukan ringan di kepala, menyemangati tanpa berucap apa-apa.

Lembar soal dan lembar jawaban mulai dibagikan, lima soal essay. Naura tanpa membuang waktu mencoret beberapa poin jawaban di lembar soal, menyusun kalimat dengan baik sebelum dipindah ke lembar jawaban, tidak ingin mengotori lembar jawabannya dengan tipe-x.

Naura mulai mengisi lembar jawabannya sesuai dengan materi yang sudah sudah payah ia coba hafalkan. Sedikit mengabaikan kepalanya terasa lebih ringan, mungkin efek kurang tidurnya. Memekik kecil saat bercak merah timbul di lembar soalnya, segera ia seka dengan tangan kanan, sedangkan tangan kirinya meraih hidung. Ia mengangkat tangan yang menyentuh hidung, menahan nafas yang menemukan warna merah lain menghiasi telapak tangannya. Ia mimisan.

Naura makin menunduk, sadar jika suara terkejutnya mungkin terdengar oleh yang lain. Tidak punya keberanian mendongak, tidak tahu bagaimana rupanya sekarang. Ia meraih dasinya meletakkannya tepat di bawah hidung, menyumbat darah lain agar tidak keluar selama ia mengerjakan tugasnya. Masih ada satu soal lagi yang perlu ia jawab. tidak akan butuh waktu banyak. Setelah ini selesai, ia akan segera ke UKS. Tidak perlu membuat keributan hanya karena hal kecil. Nilainya lebih penting untuk sekarang.

Naura membalik dasinya, mencari bagian yang masih kering tiap kali merasakan bagian yang ia pegang mulai basah. Hanya mimisan biasa karena kelelahan, harusnya tidak akan membuat bercak merah di dasinya kentara, akan berhenti secepatnya.

Naura menulis kalimat terakhir dari jawabannya, menepuk-nepuk hidunganya hati-hati, memastikan tekanan yang ia berikan tidak membuat mimisannya makin parah. Ia berdiri setelah tidak ada lagi bercak di dasinya. Berdiri segera, membawa alat tulis dan lembar jawaban dan soalnya, sedikit tergesa dalam langkahnya, mengumpulkan jawabannya di meja guru sebelum keluar ruangan.

Berlari kecil menuruni tangga, hampir terjerembab karena tersandung kakinya sendiri. Sempat berhenti sejenak untuk berpegangan pada pembatas tangga, mencoba menenangkan diri. Tiap panik, akan makin banyak masalah yang ia buat. Tidak ingin jatuh dan menambah luka lain di tubuhnya.

Rasa asin menyapa lidahnya, tidak sadar jika darah dari hidungnya belum sepenuhnya berhenti. Naura mengusapnya dengan tangan, berjalan cepat sembari mengatur nafasnya. Pintu UKS sudah di depan mata, hingga lengan atasnya tiba-tiba di tahan dan badannya diputar paksa, menambah pening di kepalanya, membuat Naura mengernyit sembari memejamkan mata.

"Kamu kalau sakit bisa nggak sih ngomong ke aku atau ke Adit." Devito menarik tangan Naura yang menutup hidungnya pelan.

"Cuma mimisan. Harusnya udah berhenti." Naura mengusap hidungnya, membebaskan tangannya dari genggaman Devito, mengalihkan matanya ke arah lain, berbalik untuk menuntaskan tujuannya ke UKS. Devito yang menyusulnya di tengah ujian mengejutkannya.

Secret RendezvousTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang