11. Tentang Masa Depan

1.3K 269 12
                                    

Naura berangkat lebih siang. Pukul tujuh tepat, mobil Honda Odyssey putih yang menjadi kendaraan ke sekolahnya baru keluar dari gerbang. Selama satu minggu ini, gerbang depan akan dibuka sampai istirahat pertama, memudahkan pelaksanaan Dies Natalis dan juga dijadikan kesempatan untuk berangkat lebih akhir oleh beberapa siswa, salah satunya Naura.

Beberapa bangunan sebelum sekolah, Naura seperti melihat dua postur tubuh yang ia kenal berjalan di trotoar seberang jalan. Sedikit menurunkan kaca mobilnya, memastikan jika ia tidak salah lihat. Setelah melewati keduanya dan melihat sekilas wajah mereka, Naura meminta Mang Udin untuk menghentikan laju mobilnya.

“Kenapa, Neng? Sekolah masih agak depan.” Mang Udin melirik ari spion tengah, menyalakan sein dan menepikan mobil.

“Bentar.” Naura mengangkat tangannya, memberi tanda untuk menunggu. Lalu meraih ponselnya, mencari satu nama dan mengirimkan pesan.

WhatsApp
Today, 07.23

Naya

Dito

Hadap kiri coba.


Naura menatap ponselnya penuh harap, kemudian sosok Devito dan Julian secara bergantian. Tak kunjung mendapat balasan, gadis itu menekan tombol panggilan. Menggigit jempolnya waswas.

Melihat Devito menerima panggilannya, Naura segera keluar mobil, melambaikan tangan tinggi-tinggi. Tanpa salam, tanpa sapa langsung meminta Devito untuk berpaling ke arahnya "Madep kiri."

Devito menoleh ke arah kiri, mengangkat sebelah alisnya saat mendapati Naura yang masih melambaikan tangan, kemudian memutar badan sepenuhnya. "Apa?"

"Kamu hari ini ada tugas?" Tanya Naura saat bertatap mata.

Keduanya sama-sama menghentikan langkah, beradu pandang dari tempat masing-masing. Melupakan Mang Udin yang masih menunggu di dalam mobil dan juga Julian yang menatap penuh tanya.

Devito menggeleng. "Enggak. Kenapa?"

"Kirain kamu bakal bolos." Naura sedikit menunduk, memberi kode agar Mang Udin pulang dan tidak mengkhawatirkannya.

Naura dapat mendengar Devito terkekeh dari sambungan ponselnya sebelum berkata, "Gua emang sering cabut, tapi bukan berarti gua bakal ngebiarin absen harian gua kosong."

"Oh. Ya udah." Nura melihat sepatunya lalu melangkah.

"Lo mau bolos?"

"Dikit. Ehehe." Naura meringis, melirik Devito. Merasa aneh mendapat pertanyaan seperti itu. Hanya tidak mengira bahwa akan melakukan satu hal yang amat dibenci orang tuanya.

“Ketagihan?”

Naura menoleh saat mendengar pertanyaan Devito, menangkap cowok itu menyeringai dan menaikkan salah satu alisnya.

“Lagi enggak pengin di sekolahan. Enggak ada kegiatan apa-apa.” Naura mengedikkan bahu.

Sebenarnya bisa saja menghabiskan waktu di perpustakaan, membaca beberapa buku fiksi yang tidak mungkin dibaca di rumah.  Atau, bergabung dengan Aditya dengan risiko bertemu berbagai macam manusia yang belum pernah ia temui selama berada di Dananjaya dan berakhir tidak dapat mengikuti percakapan mereka, mengingat seberapa banyak siswa yang cowok itu kenal. Pilihan terakhir, ikut Devito bolos. Ada kemungkinan ditolak, tapi itu satu-satunya pilihan teraman. Naura tahu orag-orang di warung Bang Jaka dan entah feelings dari mana, ia yakin Devito tidak akan mengabaikannya.

"Taroh tas dulu di kelas. Ntar agak siangan saja," ajak Devito di akhir panggilannya. "Dah, ya."

Naura mengangguk, menunggu telefon terputus, kemudian melihat Devito dan Julian yang berdiri tepat di seberang zebra cross menunggu jalanan lengang untuk menyeberang.

Secret RendezvousTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang