35. Ketidakpastian

1K 204 44
                                    

Naura mengulum bibirnya, tersadar atas apa yang ia ucapkan barusan. Melirik Devito memastikan jika cowok itu tidak mendengarnya, menghela napas lega saat cowok di sebelahnya terlihat tidak menangkap apa yang baru saja ia ucapkan.

Naura memelankan langkah begitu sampai di mulut tempat parkir, tidak ingin berjalan berimpitan di antara motor sekaligus memikirkan apa yang harus ia lakukan sekarang. Mengulang apa yang ia ucapkan dengan lantang agar lega dan tidak perlu sembunyi lagi atau menutupi seolah tidak terjadi apa-apa

Naura mengambil napas dalam, setidaknya dia sudah bilang jika nantinya tidak menghasilkan apa-apa. Menanamkan kalimat itu di kepalanya sebelum memanggil nama cowok di depannya dengan dada berdebar tak karuan.

"Dito..."

Devito tak menyahut, hanya menoleh sekilas sebagai bukti bahwa ia mendengarkan, sibuk mengingat di mana motornya terparkir.

Naura menghela napas, meraih ritsleting tas milik Devito, membuat cowok itu berhenti, melirik Naura dari ujung matanya. Naura meremat telapak tangan hingga kebas menunduk menatap ujung sepatu, lalu berbisik "aku suka kamu."

"Hah?" Dahi Devito berkerut, membalik badan untuk dapat mendengar degan lebih jelas.

"Aku suka kamu." Kalimat yang selama ini tertahan di ujung lidah akhirnya terucap. Tak ada suara setelahnya, hanya keheningan yang mengelilingi keduanya hingga Naura dapat mendengar suara degupan jantungnya. Hanya mampu menunduk menatap ujung sepatu, menggenggam rok makin mengerat, tidak memiliki keberanian melihat tanggapan cowok di hadapannya.

Tak kunjung mendapat balasan, Naura mendongak, mendapati tatapan Devito yang menatapnya dengan raut wajah yang tidak dapat Naura artikan. Dadanya mengerat, merasa kecewa sekaligus bersalah. Beban yang tadinya terangkat saat berhasil mengungkapkan perasaannya, kini tergantikan dengan beban bahwa ia akan merusak pertemanannya.

"Enggak ... bukan gitu ... maksudku .... " Naura meracau, tangannya bergerak-gerak secara acak di udara, panik. Mata bulatnya bergerak menatap apa pun selain cowok dengan muka datar yang tengah menatapnya, mencari kalimat yang pas agar tidak membuat pertemanan mereka menjadi canggung setelah ini. "Aku cuma bilang, enggak ada maksud apa-apa, kok. Kamu enggak perlu ngapa-ngapain."

Nafasnya tercekat, hatinya mencelos, rasa malu mulai melingkupi tubuhnya saat melihat raut muka Devito tidak berubah, masih menatap Naura dengan sorot mata yang tidak dapat ia baca dengan kening mengkerut dan kepala yang dimiringkan.

"Ya gitu ... aku enggak jadi bareng, tadi udah ngabarin Mang Udin." suara Naura sedikit bergetar. Perlahan berjalan mundur, tangannya menunjuk arah keluar tempat parkir lalu berbalik tanpa menunggu jawaban Devito. "Kalau begitu, aku duluan, dadah."

Naura menutupi wajahnya yang memerah dengan tangan, membuka jemarinya sedikit untuk melihat jalan. Seperti auto pilot kembali memasuki area sekolah, menuju gedung ekstrakurikuler untuk mendatangi Aditya.

Naura mencoba melihat bagian dalam, mengintip dari celah pintu, matanya tidak menangkap siapa pun. Hanya melihat satu meja besar dekat jendela dengan dua belas kursi yang mengelilinginya dan satu papan tulis ukuran sedang tepat di sebelahnya, serta  satu loker besar tak jauh dari pintu.

"Hai, Mbak. nyari Mas Adit, ya?" suara Abim dari belakang sedikit mengagetkannya. " Masuk saja, lagi nyantai, kok."

Naura melemparkan senyum, sedikit menyingkir untuk memberi Abim ruang untuk masuk lebih dulu baru diikuti olehnya.

"Kenapa? Bukannya tadi udah mau pulang?" Aditya akan berdiri dari sofa di ujung ruang begitu melihat Naura, tak terlihat dari pintu .

Naura menggeleng, ikut duduk di sofa yang sama membuat Aditya mengurungkan tindakannya. Cewek itu menyandarkan kepalanya di sandaran sofa, menatap kosong langit-langit, meratapi kebiasaannya dalam bertindak tanpa berpikir ulang.

Secret RendezvousTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang