"Ayah sama Bunda udah pergi lagi?" gumam Naura saat merasakan rumahnya lebih kosong, atmosfer di sekitarnya juga tidak sekaku tadi pagi. Naura juga tidak melihat Bi Irah di sekitaran dapur atau pun depan TV. "Tapi Mang Udin enggak ngomong apa-apa." Naura bermonolog saat menaiki tangga ke kamarnya, pandangannya masih mengedar mencoba menemukan tanda-tanda kehidupan lain di dalam rumahnya.
Naura berbelok ke kanan, menempelkan telinganya ke pintu ruang kerja Ayahnya, tapi tidak terdengar apa pun kecuali napas teraturnya. Naura menegak, berjalan ke kamarnya untuk membersihkan diri dan akan mencari Bi Irah saat ia sudah selesai nanti.
Naura keluar dari kamar mandi dengan tampilan yang lebih segar saat jam sudah menunjukkan lewat pukul sembilan malam. Badannya ingin segera berbaring, tapi rasa penasaran mengalahkannya. Ia berakhir turun, mencari Mang Udin atau Bi Irah untuk ditanyai.
Langkah Naura berhenti ketika melihat pergerakan dari arah dapur, menghampirinya dan menemukan Bi Irah berdiri di depan kompor, "Bi, Ayah sama Bunda udah enggak di rumah?"
"Ibu udah pergi lagi tadi pagi." Bi Irah melirik melalui bahunya. "Bapak di atas, tadi minta dipanggil kalau Neng Naya udah dateng. Buat makan malam."
"Biar Naya aja yang manggil." Naura mengedarkan pandangannya ke sekitar, mencari sesuatu yang mungkin bisa ia kerjakan untuk membantu Bi Irah menyiapkan makan malam. "Cuma bikin itu aja?"
"Neng Naya mau yang lain? Ini Cuma manasin sup yang tadi."
"Enggak, itu aja." Naura menggeleng cepat, merutuk dalam hati karena susunan kalimatnya yang sering disalahpahami. "Naya panggil Ayah dulu."
Naura berlari kecil menuju ruang kerja Satya, mengetuk pintunya pelan sebelum dengan ragu meraih kenop pintu, melihat apakah dikunci untuk mengintip Satya yang fokus menatap layar komputernya dengan sinar biru yang memantul di kacamatanya.
"Ayah," panggil Naura dengan suara pelan, tapi fokus tidak terlihat beralih hingga Naura memanggilnya lagi dengan suara yang lebih keras, "Ayah, makan malam."
Satya melirik dan melepaskan kacamatanya begitu menyadari Naura berdiri tidak jauh di depannya, pria itu tersenyum tipis, tangannya berlarian di keyboard beberapa saat sebelum berbicara pada Naura, "Bentar, Ayah selesaiin ini dulu."
"Naya tunggu di bawah." Naura mengangguk, melangkah mundur sampai pintu, melihat Satya kembali melihat benda elektronik di hadapannya.
Naura langsung duduk di meja makan yang sudah terhidang sup ayam dan dua peralatan makan. Berdua dengan Satya setelah kejadian kemarin membuat Naura memikirkan apa yang harus ia bicarakan dengan ayahnya nanti agar tidak canggung dan tidak menyenggol masalah kemarin. Mungkin membahas nilai dan kegiatan mingguannya bisa menolong.
"Kok? Bapak mana?" tanya Bi Irah meletakkan potongan buah di meja.
"Masih ada ... itu." Naura ingin menjelaskan, tapi Satya sudah terlihat dari ambang pintu.
Makan malam berlangsung tenang, hanya suara piring dan sendok yang berbenturan ringan yang terdengar. Naura dengan sopnya, begitu pula Satya. Naura tidak tahu kenapa Satya repot-repot menunggunya hanya untuk makan bersama jika hanya untuk saling diam.
"Dari sekolah langsung les?" Satya akhirnya bersuara. Di telinga Naura, pria itu terdengar sedikit ragu, sepertinya sama-sama merasa canggung.
Naura menggeleng, masih mengunyah, sedikit mengeratkan pegangannya pada sendok. "Tadi jenguk ayah temennya Naya, baru habis itu ke tempat les." Ia tidak menyebutkan siapa, karena Satya kenal orangnya serta om Gatot dan tante Dama yang tidak menanyakan Satya membuat Naura berharap Satya juga melakukan hal yang sama.
KAMU SEDANG MEMBACA
Secret Rendezvous
Teen FictionRendezvous (n.) a place where a particular group of people often go or meet, by arrangement or habit. ______________ Naura adalah cewek yang biasa kalian temukan di setiap kelas. Pendiam, punya prestasi bagus, catatan poinnya kosong, disukai guru...