32. Abdudaya Pada

1K 199 34
                                    

“Lo nanti dateng, kan?” Aditya datang-datang mendorong pundak Naura, menyuruh cewek itu untuk memberi ruang, langsung mencoba duduk di kursi yang sama dengan cewek itu.

“Huh? Kan kamu latihannya rabu.” Naura menoleh, menggeser duduknya, mengernyit mendengar pertanyaan Aditya.

“Bukan. Katanya Papa pembukaan klaster apartemen Abdudaya Pada yang deket Universitas Dananjaya Kampus Jakarta.” Aditya sedikit mundur, duduk agak menyamping agar tidak terlalu memakan tempat duduk. Lalu meletakkan lengannya di sandaran kursi.  “Kata Papa punya Om Satya. Kok lo enggak tahu.”

“Nanti aku tanya ke Ayah, Bunda juga enggak ngabarin buat pulang cepet.” kernyitan di dahi Naura makin dalam. Pembicaraan tentang pekerjaan orang tuanya tidak pernah terbawa saat keluarganya menghabiskan waktu bersama. Lebih banyak membicarakan tentang nilai dan masa depan seperti apa yang akan dibentuk untuk Naura.

“Kabarin kalau lo ikut, gua enggak mau ntar dijodoh-jodohin sama anak temen Papa.”

“Saling menyelamatkan.” Naura mengulurkan tangannya, meminta Aditya berjabat tangan. Kemudian bertanya setelah jabatan tangan mereka terlepas. “Kamu tahu yang dateng siapa aja?”

Aditya menggeleng lalu bergidik ngeri. “Semoga enggak ketemu tante-tante yang sering bercanda nawarin buat macarin anaknya.”

“Makanya cepet cari pacar.” Naura berbicara dengan nada mengejek, menyenggol lengan Aditya dengan sikunya.

“Guanya sih udah ada inceran, enggak tahu dianya mau atau enggak.” Aditya ganti menyangga kepalanya dengan tangan, menghadap Naura.

“Masa ada yang enggak mau sama kamu?” Naura mengerutkan hidungnya tidak percaya.

“Orang yang gua suka?” Aditya menegak, memiringkan kepala dan menggedikkan bahu.

Naura akan melanjutkan mengejek Aditya yang mencoba merendah di tengah popularitasnya di Dananjaya, tetapi suara dari sebelah kanannya memaksa Naura untuk menelan kembali suaranya.

“Kalian enggak ke kantin?” tanya Hasna sudah berdiri dari tempat duduknya.

Naura mengangguk, lalu menoleh pada Aditya, saling menatap, berbicara lewat tatapan.

“Ayok, masih lama masuknya.” Aditya melirik jam di pergelangan tangannya, lalu berdiri diikuti Naura.

Sesampainya kantin, pemandangan yang Naura dapat adalah meja yang hampir penuh, sebagian besar etalase pedagang berjubel penuh pembeli. Ini kenapa Naura selalu membeli roti dan susu, pilihan paling mudah. Ia tidak bisa membeli di pedagang lain yang harus bisa menyerobot tanpa antrean. Bisa-bisa saat bel istirahat berakhir pun Naura belum menyampaikan pesanannya.

“Duduk bareng Dito sama Juan aja.” Aditya melongok, menunjuk meja agak ujung berisi empat orang. Devito, Julian, Raden dan Satria.

Naura mengangguk, mengikuti arah telunjuk Aditya dan bertatapan dengan Devito yang menoleh ke arah mereka. Cowok itu melambaikan tangan, menunjuk mejanya dan mengucap kata sini tanpa suara.

“Mau beli apa?” bisik Aditya sedikit menunduk.

“Kamu?” Naura mendongak, memutus kontak matanya dengan cowok di ujung sana. Kemudian menoleh untuk bertanya pada Hasna, tapi cewek itu sudah berjalan menjauh, duduk di meja di tengah ruangan bergabung dengan beberapa cewek dari kelasnya dan beberapa wajah yang tidak ia kenali sepertinya dari MPK-Osis

Mata Aditya mengedar, lalau berhenti pada gerobak etalase merah yang sudah tidak begitu ramai. “Siomay? Lo mau sekalian?”

Naura mengangguk, lalu membuntuti Aditya yang berjalan berlawanan arah dengan tempat duduk teman-temannya. Baru berhenti saat Aditya berbalik, menatapnya dengan pandangan bertanya. “Lo ngapain ngikut gua? Langsung ke meja mereka aja.”

Secret RendezvousTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang