“Kak, sini duduk dulu,” panggil Sekar kala melihat Naura di depan tangga, akan langsung naik kamar.
Naura menghentikan langkahnya, meremat tali tas sekolahnya, menurut untuk duduk di sofa ruang tengah di hadapan Sekar. Pikirannya bercabang tanpa kendali, memikirkan kemungkinan apa yang akan Sekar katakan. Naura yakin ia mengerjakan soal ujiannya dengan baik, kalau pun ada jawaban yang salah,ia yakin tidak sebanyak itu.
Apa Bunda sadar jika ia keluar tanpa ijin malam itu? Dan masuk rumah diam-diam? Apa Mang Udin juga akan terkena masalah?
“Rata-rata kamu naik, beberapa nilai juga naik, tapi sosiologinya masih segitu-gitu aja, ya.” Sekar mengamati nilai raport Naura, melarikan jemarinya untuk menunjuk dan membandingkan. “Bunda penginnya Sosiologi sejajar sama nilai yang lain, tapi enggak apa, rata-ratanya masih naik. Jadi mau apa?”
Naura menghela napas yang tanpa sadar ia tahan, lega mendengar Bunda tidak menyinggung kejadian malam itu, dengan kata lain Mang Udin selamat. Meski masih mendapat ketidakpuasan Sekar.
“Ayah enggak pulang?” tanya Naura ragu, biasanya jika nilai Naura naik, kedua orang tuanya akan pulang, memesan meja di restoran langganan untuk makan malam. Namun, Satya belum juga mengabari bahkan setelah raport sudah diterima.
“Coba tanya ke Ayah.” Sekar meletakkan raport di meja pendek yang memisahkan mereka.
“Boleh ke tempat Ayah?” Naura bertanya lagi setelah mendengar jawaban Sekar, ibarat mendapat isyarat jika Ayahnya tidak akan pulang.
“Kalau mau ke Ayah, cuma bisa besok sampai Senin sore. Inget masih ada les,” kata Sekar memberi ijin. “Mau dicariin tiketnya?”
“Naya tanya Ayah dulu.” Naura menggeleng, akan terasa sia-sia jika Ayahnya sibuk saat Naura sudah di sana. “Kalau Ayah pulang, enggak jadi.”
Sekar mengangguk, memberi gestur jika pembicaraannya telah selesai. Naura beranjak setelahnya, meletakkan tas sekolahnya di kursi belajar dan mengganti bajunya dengan pakaian rumahan.
Berbaring memeluk choco di atas kasur, Naura mengetikkan nama Ayah di daftar kontak, akan menelepon tapi urung sesudah menangkap jam di ujung atas ponselnya yang menunjukkan pukul 13.56, sudah lewat jam makan siang. Tidak ingin mengganggu pekerjaan Ayahnya dengan telepon yang tidak begitu mendesak.
Message
Today, 13.56
Naya
Ayah, bisa telepon?Setelah mengirim pesan, Naura membuka kembali catatan sosiologinya, mencari lembar soal di antara lembar soal yang lain. Mencocokkan jawaban yang telah ia pilih dengan materi dari buku, menghitung jumlah soal yang salah dari 50 soal yang ada.
Naura tidak mengerti kenapa Bunda amat sangat terganggu dengan nilai sosiologinya. Untuk Sejarah, Naura masih bisa paham, tiap warga negara harus tahu tentang bagaimana latar belakang negaranya, tetapi sosiologi? Bukankah biasanya orang tua akan lebih tidak suka jika anaknya jelek di matematika? Kenapa Bunda malah kebalikannya? Nilai Matematikanya termasuk paling tinggi di antara nilainya yang lain, tapi Bunda tidak pernah menyinggungnya.
Getar ponsel membuyarkan pikiran aneh Naura, membuat cewek itu melonjak di kusirnya, segera meraih ponselnya di atas kasur. Warna mukanya semakin cerah mendapati siapa yang melakukan panggilan.
“Hallo, Ayah,” sapa Naura melipat kakinya duduk di atas ranjang memeluk Choco.
“Ada apa? Tumben Naya minta telepon.” Seperti biasa, Satya selalu to the point, tanpa basa-basi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Secret Rendezvous
Teen FictionRendezvous (n.) a place where a particular group of people often go or meet, by arrangement or habit. ______________ Naura adalah cewek yang biasa kalian temukan di setiap kelas. Pendiam, punya prestasi bagus, catatan poinnya kosong, disukai guru...