O5. Bocah Australia

1.3K 195 44
                                    

Aussie adalah satu-satunya puan Arditho yang lahir di luar Indonesia. Kala itu, Aussie tak sengaja lahir kala mereka tengah berlibur di Australia. Katakanlah Ardhito sangat tidak kreatif, tapi dari sanalah ia menamai bocah ketiganya Aussie. Warna Aussie Ardhito.

Sejak kecil, Aussie sudah jatuh cinta dengan seni. Khususnya seni rupa. Ia sudah banyak bermain dengan warna bahkan sejak usianya 4 tahun. Ia selalu dapat nilai bagus di pelajaran seni lukis. Dan seringkali mewakili Indonesia dalam ajang provinsi di bidang tersebut.

Lalu semenjak duduk di bangku SMP, ia mulai tertarik pada dunia sastra. Ia melukis aksara, menulis warna. Ia buat lukisan dari tulisan, tulisan dari lukisan. Jadi ilustrator buat bukunya sendiri.

Hidup berjalan. Aussie sekarang menenun pendidikan di gedung sekolah menengah atas. Lalu ia bertemu dengan Rona, Pancarona Naraditya. Manusia yang sudah mengenalkannya dengan nada serta pengiringnya. Lalu diketahuinya, Rona juga cinta mati pada warna. Di sini, ia jatuh cinta juga pada seni musik. Yang mana pula jadi jembatan baginya menjalin hubungan dengan Rona. Sampai sekarang.

Hari ini, Aussie di sekolah. Ia sungguhan adalah anonim Jingga. Sebagian besar waktu sekolahnya digunakannya untuk tidur, mendengarkan musik di balik earphone, atau menggambar kasar sketsa di halaman paling belakang bukunya.

Setelah menentukan cita-citanya sebagai seniman, ia merasa belajar Matematika atau IPA bukanlah keperluannya. Jadi ia akan pura-pura serius, walau otaknya tak menangkap penjelasan apa-apa.

Sama seperti Jingga, ia tak langsung pulang habis sekolah usai. Cuman yang jelas, bukan ambil les atau apa, Aussie biasa mengunjungi galeri berkedok rumah yang ditempati Ashley. Ashley sendiri adalah kakak dari Rona. Pribadinya benar-benar definisi seniman lukis. Kamarnya penuh warna-warni. Aussie selalu ingin kamar yang persis seperti itu.

Ah, ya. Aussie tak pernah pakai supir. Ia sudah bisa mengendarai mobil, bahkan memiliki mobilnya sendiri. Sebagai hadiah ulang tahunnya yang ke-17, ia dibelikan mobil dan dibuatkan SIM.

"Awseeeeeh!" Ashley berseru heboh tatkala menangkap sedan perak Aussie menapaki garasinya.

"Kak Ash! Oh, Gosh! Rindu banget!" sahutnya begitu turun dari mobilnya. Mereka berpeluk erat.

"Rindu apanya? Lu ke sini tiap hari, dan gue selalu ada di sini pas lu ke sini." Ashley menimpali, lantas menggandeng Aussie menyambutnya ke dalam gedung.

"Ck, setengah jam tanpa Kak Ashley aja berasa setaun!"

"Oh, wow. The power of Ashley banget, nih?" kekeh Ashley lembut. Seraya ia menyeduh kopi susu kesukaan Aussie. Sementara Aussie melepas sepatunya.

"Setuju kalau buat yang ini!" ujarnya, "omong-omong, Rona belum ke sini, Kak?"

"Kemarin gue sama Rona berantem gegara gue ngeledek nama dia. Kalau dia masih marah, ya, kemungkinan besar enggak ke sini," sahut Ashley setengah mencebik, kemudian menyeruput seteguk dari minumannya.

"Lah, diledek nama doang, kok, marah?"

"Iya, gue manggil dia Roma Kelapa. Tau-tau dia ngambek. Kek cewek,"

Aussie tergelak, kemudian menggeleng-gelengkan kepalanya. "Coba ditelpon, Kak. Bilangin, ceweknya ada di sini. Pasti dia dateng, entar."

"JANGAN GITU, NAPA! NIH, ADA JOMLO!"

"ASTAGHFIRULLAH, KAK, HAHAHAHA!" Aussie tertawa terbahak-bahak. Hanya Ashley yang berhasil membuatnya selepas ini. Sebebas ini. Karenanya ia amat jarang ada di rumah, dan memilih menghabiskan seharian di galeri Ashley.

"Woy, suara ketawa lu kedengeran sampe luar." Suara Rona kali ini menyapa, menginjakkan kakinya di lantai teras Ashley. Melepas sepatunya, lantas menaruhnya di sebelah sepatu Aussie.

krayon patah. [tercekal sementara]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang