16. Lillac's Impact

985 153 67
                                    

Jingga menggeliat puas di kasurnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Jingga menggeliat puas di kasurnya. Punggung anak gadis kelahiran kosong dua itu pegal setelah hampir dua jam berbaring berteman novel tebal kelahiran Valerie Patkar. Dalam sepekan saja, ia sudah menamatkan lewat 3 buku tebal-tebal keluaran penulis Indonesia dan satu ensiklopedia psikologi full berbahasa Inggris.

Karena terlalu lekap dengan buku, ia lupa makan siang. Jujur, bukan perutnya sendiri yang dikhawatirkannya. Kira-kira apa kabar perut adik bungsunya? Lillac dari tadi juga belum keluar kamar.

Jingga lalu bangkit. Kembali menggeliat di tempatnya berdiri. Ia lalu keluar kamar, niatnya mengajak Lillac makan bersama kalau-kalau perutnya masih kosong.

"Lil," panggilnya seraya mengetuk pintu kamar sang adik yang dikunci dari dalam, "Lil, are you awake?"

"Ah, masa, belum?" monolognya habis bertanya. Kemudian tanpa sengaja, lututnya mendorong pintu tersebut. Dan, terbuka.

"Astaga. Enggak dikunci, rupanya," gerutunya. Ia lalu menyelonong masuk. Dingin nan amat sangat mengangkat bulu-bulu kuduk lengannya. Kasihan betul AC kamar Lillac, pasti tak pernah istirahat.

Wujud si pemilik kamar tidak tampak di mana pun. Setelah sekitar 10 menit ketua OSIS itu memanggil-manggil nama adik bungsunya tanpa bergerak mencari, barulah ia sadar eksistensi tubuh ramping itu terlilit selimut bulu di atas kasur seprai lavender di tengah ruangan.

Ia membuka bungkusan selimut tersebut. Benar, ada adiknya dengan mata terpejam. Tidur meringkuk hingga membentuk lingkaran. Jingga terkekeh kecil, gemas. Menambah citra cantik lagi anggun pada putri kedua Ardhito itu.

Pantas saja Raka naksir.

"Lil, sarapan, yukㅡ?" Begitu Jingga menyentuh lengan Lillac, ia terlonjak. Tubuh adik bungsunya itu amat panas. Seperti menyentuh air mendidih.

"LIL?" Jingga gegas membangunkan Lillac. Lillac bangun, mendongak. Dan Jingga kembali dikejutkan dengan darah nan kental lagi merah di filtrum Lillac.

"LIL!" serunya panik, "K-KAMU, KOKㅡ?!"

Segera ia mendudukkan punggung adiknya. Ia berlari ke ujung ruangan mengambil tisu di nakas, lalu melemparnya ke kasur untuk Lillac menahan lajunya darah dari hidungnya. Kemudian ia lari lagi ke dapur mengambil segelas air putih sekalian menyendok sayur sup kemudian membawanya lagi ke kamar Lillac.

"Ya Allah, Dek. Kenapa, toh, kamu?" tanya Jingga seraya menyuapi Lillac yang hidungnya disumbat gulungan tisu. Lillac cuma meringis kecil, seraya pelan-pelan melahap sup nan hambar di lidahnya.

Jingga mengusak pelan rambut Lillac, menyentuh kulit kepalanya yang seperti terbakar saking panasnya. "Pusing?" tanyanya langsung, "Mampet? Lemes? Menggigil? Mual? Bilang ke Kakak, ya?"

"Semuanya, Kak," Lillac menjawab lemas.

"Pusingnya di bagian mana? Dahi pusing? Occipital kamu kerasa kayak berat gitu, enggak?" tanyanya lagi.

krayon patah. [tercekal sementara]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang