Di kamarnya, dengan bahu merosot—posisi itu sudah mengabadi sejak seperempat jam yang lalu dan sakit di punggungnya belum apa-apa, ponselnya menyala di sebelahnya, dan ia menatap dengan hampa tapi telinganya selalu menyala.
"Lil? Hey, are you still there?"
"Hm? Oh, iya, masih, kok. Lanjut aja, lanjut. Kenapa, kenapa?"
"Oh, oke. Good." Suara dari seberang ponsel itu terdengar. "Setelah aku confess, dia cuman diem, gitu. Kayak, speechless. Tapi habis itu dia nangis. Aduh, hatiku masih ngilu banget liatnya. Dan kamu tau? Bravely, finally, i kissed her eyes, and then she stopped crying. Aku berhasil nenangin dia. Oh, itu bakal stay di memori aku selamanya, Lil. Terus aku akhirnya keluar kamar adekku, langsung ngunci kamarku dan, oh, God. Aku bener-bener blushing hard. Aku ga percaya aku akhirnya confess ke Kak Jingga setelah waktu itu gajadi karena hujan."
"Terus, kan, kami malemnya nonton horor, tuh. Sumpah, ya, padahal aku nggak modus atau apa. Tapi akhirnya dari setengah film sampai ending, dia senderan ke aku. Bayangin, Lil. Dia senderan ke aku. Aku bener-bener mau gila. Aku bener-bener gila dibikin kakakmu itu. Aku rasanya mau konvoy ke seluruh Bandung terus teriakkin nama kakakmu di mana-mana, sampai semua orang tau kalau aku sesuka itu sama dia."
Terserah. Lillac tidak peduli sama sekali. Sejak pertama kali Raka menelepon nomornya, ia sudah tahu hatinya akan patah berat. Sejak pertama kali Raka bilang ia ingin membicarakan Jingga, Lillac bisa dengar senyum di suaranya, dan ia tahu sedikit saja lagi dia dengar Raka bilang kakaknya itu cantik sekali, Lillac bisa hilang akal. Atau mungkin ia sudah, karena dengan suaranya yang nyaring dan penuh semangat, ia meminta terus-menerus agar Raka menceritakannya dengan detail dan berulang kali.
Matanya panas sekali. Hatinya tak jauh beda. Rasanya ia ingin meneriakkan semua kata kasar ke speaker ponselnya menulikan Raka lalu mematikan panggilan tersebut kemudian kabur pindah negara selamanya dan memutus kontak dengan semua orang.
"Lil?"
"Hm?"
"Are you still there? Diem banget. Aneh, deh."
"Iyaa. Aku dengerin, kok."
"Oke, good." Suara kekeh yang familier akhirnya terdengar. Di tengah hiruk-pikuk air matanya yang berdesakan memaksa menyeruak keluar, ia bisa melukis senyum secara otomatis. Sehancur-hancurnya ia, Raka merupakan seseorang yang sangat ia suka. Semuanya.
"Haduh, Lil." Raka menghela napas. "I like her so much."
Rasanya kuping Lillac mau berdarah, berdenging kencang, sedikit lagi meledak hebat.
"Iya, Kak. Tau."
"She's so amazing, and she's so pretty. Everything about her. Gua naksir banget. Aduh, suka banget sama Jingga, Tuhan."
"Iya."
"Ngerti nggak sih, Lil? Hatiku ini sakit banget karena sesuka itu sama dia. Aku yakin kamu pasti punya seseorang yang kamu taksir sampai sebegitunya juga, kan?"
Lillac terkekeh tipis. "Ada." Ia berkata pelan. Semua orang tahu itu Raka kecuali Raka sendiri. Bahkan Jingga pun tahu.
Bukan sekali Lillac menjadi yang satu-satunya jatuh cinta, tapi setiap kali. Ia bukan apa-apa yang layak dicintai. Orang-orang di sekitarnya akan selalu lebih berbinar dari ia. Lillac sudah biasa. Mau protes juga nyatanya ia menemukan hal-hal yang tak ia punya di semua kakak-kakaknya.
Dan Lillac tak pernah menyalahkan siapa-siapa kecuali dirinya. Bukan salah Raka, apalagi Jingga. Tapi salah ia. Lillac juga masih cukup berakal untuk tidak melepaskan tantrum besar. Namun ia tak cukup kuat untuk tahu apa yang harus dilakukan selain menangisi dan membenci sekujur dirinya karena begitu sukar disukai.
Tapi pada akhirnya, selain ikhlas, ia bisa apa?
Ia pikir itu pelajaran yang tak perlu ia paksa pahami lagi, tapi nyatanya air matanya tak lagi tertahankan. Ia terisak dari pelan menjadi kencang, tak terkendali. Masih ada Raka di seberang panggilan. Bingung atas badai yang ia tak sadar ia turut andil ciptakan.
"Lil? Are you there? Are you okay? Kamu nangiskah? Kenapa nangis? Hei?"
Demi sebentar saja Lillac harap Raka mengunci mulutnya dan berhenti menyakiti hatinya. Memang bukan salah Raka, apalagi Jingga, tapi kali ini saja Lillac sangat berharap mereka tak pernah ada.
Lillac terus terisak. Sampai ponselnya dia matikan. Ia membenamkan wajahnya di boneka, berteriak sekencang mungkin. Mengalahkan dering dari Raka yang terus berusaha meneleponnya kembali. Sedikit saja, Lillac harap Raka diam. Sedikit saja, Lillac memohon Tuhan agar ia merasa pantas untuk setidaknya memberi tahu perihal cintanya.
Ia terus sesenggukkan sampai ada bunyi ketukan pintu. "Cihuyyy," ujar suara di sana.
"Masuk," ujarnya, ia tahu di balik pintu itu siapa. Akhirnya Aussie masuk. Baru saja pulang dari stasiun setelah menjemput Bunda.
"Besok Kak Jingga pulang!" serunya, tak sadsr adiknya itu berantakan kondisinya.
Lillac menangis semakin kencang. "Lu jangan sebut nama Kak J dulu pleaseeee," isaknya, kata-katanya berantakan dan syukur Aussie cepat menangkap.
"Ini kenapa coba, njir." Aussie menggumam, mendekati kasur Lillac dan membawanya ke pelukannya.
"Aku sedih banget," sengguk Lillac, menyembunyikan wajahnya di balik ketiak Aussie.
"Yeah, no one can tell," sahut Aussie menyatir. "Kenapaaa?"
Lillac menceritakan semuanya. Ia mengayomi dengan sempurna. Memang, dari awal Aussie juga sudah tahu, dari kejadian truth-or-dare itu. Yang mana Aussie juga tahu perihal confess pertama yang batal jadi itu. Aussie akan selalu menjadi tempatnya lari. Menjadi yang pertama kali tahu semuanya.
"Aduh, sayangku. It's okay, I know how that hurt."
Lillac menggeleng kecil. Tidak, Aussie tidak tahu. Perihal sudah berapa kali ia menjatuh-bangunkan kepercayaan dirinya karena belasan laki-laki yang tak bisa ia panggil miliknya. Betapa ia benar-benar tak peduli lagi perihal dicintai, ia hanya mau cintanya berhenti bingung ke mana mau pergi. Ia tak peduli lagi laki-laki yang datang padanya mau memanfaatkannya dari segi apa, yang penting ia dibuat percaya ia masih cukup cantik untuk sekadar dimangsa. Lillac punya banyak sekali untuk dicinta, tapi ia tak cukup terang dari yang lainnya.
Lillac ingin sekali cintanya berhasil. Jangan hanya berhenti di ujung tak tahu mau sampai ke mana. Nyatanya tak ada yang semengerti itu perihal cinta yang tak sampai selain ia. Sama seperti ia tak pernah mengerti bagaimana rasanya menjadi sangat-sangat cantik sampai tajam busuknya bisa dicintai semudah-mudahnya.
Tak akan ada yang semengerti ia dalam ikhlas yang selalu sama takarnya perihal orang-orang yang tak pernah jadi miliknya. Perihal cinta yang selalu tertahan karena Lillac tahu ia tak akan pernah dilihat sebagai objek yang sama.
Tak ada yang mengerti. Setiap malam di mana ia menangis di pelukan Aussie tentang ekspektasi yang mengecewakan diri, ia bisa tersenyum lagi di penghujung akhir hari karena dunia tidak langsung kiamat saat laki-laki yang ia taksir sepenuh hati suka kakaknya sendiri.
coba kebutin deh, biar bs cepet-cepet deact akun wkwkkwkw.
btw its my bday today :)
KAMU SEDANG MEMBACA
krayon patah. [tercekal sementara]
Fanfiction❝Tentang krayon yang patah. yang masih bisa mewarnai. Tentang jiwa yang sepah. yang masih bisa mencintai.❞ 2O21 ; ©STARAAAAA-