23. Kepulangan Kak Jihan

964 172 56
                                    

Sedari tadi, gadis berponi itu komat-kamit gelisah. Ia baru selesai menjalani pemeriksaan kesehatan serta tes darah. Beruntung semua stabil dan ia sehat-sehat saja. Demamnya beberapa hari lalu juga sudah turun. Dan beberapa saat lagi, ia akan memasuki meja operasi.

Dikawani Aussie dan Jingga, ia melepas perhiasannya. Cincin kecil, gelang tali buatan Yara dahulu kala, kalung emas pemberian mendiang eyang, serta anting-anting emas putih yang menghias daun telinganya sejak 6 tahun lalu itu. Ia menyimpan semuanya di laci nakas.

"Takut," lirihnya dengan bibir tergigit.

"Jangan takut. Tadi dokternya udah bilang, kok, kalau operasinya bakal mudah banget dan sebentar doang. Lagian, hasil tesnya aman-aman aja, kan? Kamu pasti bakal baik-baik aja, kok," sahut Jingga seraya menguncir rambut Lillac tinggi untuk memudahkannya melepas anting.

Aussie memajukan kursi rodanya. Lalu mengusap lengan adik kecilnya. "Aku percaya sama kamu, Lil. Semangat, ya! Dua mingguan lagi ulang-tahunmu, jadi harus cepetan sembuh!"

Namun Lillac masih terdiam menyendu. Dengan lirih ia bertanya, "Kak Jihan enggak datang, ya?"

Jingga dan Aussie bertukar pandang. Tadi masing-masing dari mereka telah berusaha mengirim Jihan pesan, namun mereka berdua hanya dapat 'Ya, lihat nanti' dari Jihan.

"Lilㅡ,"

"Datang, kok. Tadi udah bilang," ujar Jingga memangkas, "Cuma agak telat. Mobilnya lagi dicuci. Enggak usah khawatir, fokus aja sama operasimu nanti,"

Lillac mengangguk lesu. Meski pintanya sebenarnya adalah formasi lengkap kakak-kakaknya. Ah, ia tidak bisa menyalahkan siapa-siapa.

Ia lalu menukar pakaiannya dengan baju operasi. Kemudian buang air kecil seperti yang diperintahkan susternya.

Beberapa menit sebelum masuk ruang operasi, satu subjek mendekat padanya. Wajahnya amat ia rindukan selama ini.

"KAK JIHAAAAN!"

Mereka berpeluk erat beberapa meter dari pintu operasi. Erat yang sangaaaaat erat. Lillac akhirnya mampu menumpahkan rasa berasma rindu di bahu kakaknya.

"Kak, aku kangen banget, busettt!" serunya.

"Samaa, Kakak juga kangen banget! Kakak bawain Nori, tuh, buat kamu sama Aussie," ujarnya seraya mengusap rambut Lillac yang diikat tinggi. Ia mengerjap kecil kala menyadari rambut panjang yang dulu tiap pagi biasa dikepangnya, telah dipotong hingga sepunggung.

Jihan tersenyum nanar. Menatap adiknya yang memasang wajah amat bahagia. Seakan ia tidak sakit, seakan ia tidak sekarat. Takdir bisa merenggut bungsunya kapan saja, namun adiknya terlihat tampak baik-baik saja. Benar-benar seperti ia tak pernah mengenal hal semenakutkan operasi.

Ia menghela tipis. Lumut-lumut penyesalan melekat erat di tiap sentimeter dinding hatinya. Ia dan Lillac dulu begitu dekat. Tapi hari ini, beberapa menit sebelum adiknya operasi, ia baru menghadapkan diri. Rasanya janji-janji yang dibuatkannya lagu untuk Lillac hanya semata omong kosong, ia ingkar.

"Maaf, ya, karena Kakak baru dateng sekarang," tuturnya tulus. Ia mendekap Lillac lagi, "Kakak minta maaf banget,"

"Enggak apa-apa, Kak. Yang penting, Kakak beneran dateng," sahutnya, "Aku sayang Kak Jihan,"

"Sayang Dek Lillac juga!"

;

Aussie dan Jihan bertukar tatap canggung. Jingga di tengah keduanya mengulum bibir, ganti-gantian menatap keduanya.

"Hai, Kak," sapa Jingga pelan.

"Iya, hai juga," jawab Jihan.

Aussie hampir tertawa. Menertawakan dirinya sendiri, lebih tepatnya. Situasi menyeramkan ini, jujur, begitu lucu.

krayon patah. [tercekal sementara]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang