Kereta yang melaju cepat pelan melambat. Stasiun berisik mengabarkan semua orang. Dengan selembut seharusnya, Raka coba menepuk pelan bahu Jingga. Gadis itu terbuka langsung matanya, badannya menegak. Pandangannya terlempar ke jendela, dan seolah takdir Jingga bisa langsung menangkap Lillac, Jihan, Aussie, dan orang tuanya berdiri jauh dari satu sama lain.
Kakinya seakan kaku meski Raka sudah bangun dan mulai menjemputi tas ia dan Jingga di bagasi atas kepala mereka. "Kita turun terakhir aja." Jingga tahan kain baju Raka. Bibirnya melengkung ke bawah, matanya dikedip-kedip.
"Oke." Raka kembali duduk di sebelahnya. Mati-matian ia menahan senyum. "Is everything okay?" Ia tanya.
"Takut." Jingga mendesis. "Malu ... juga."
"Malu?"
"Malu. Soalnya aku kabur-kaburan terus mereka khawatir. Bikin repot. Aku sebenarnya gamau pulang, tapi Bunda minta maaf jadi aku luluh. Tapi aku belum ngobrol sama Ayah sama Lillac. Terus gimana kalo aku dimarahin?"
"Kak, ndak apa-apa. Nanti kalo apa kabur lagi aja." Raka menggaruk kepalanya dan memasang cengir asam. "Tapi kayaknya udah nggak apa-apa, Kak. Tapi kamu yang lebih tahu mereka, sih."
Jingga menggigit bibir bawahnya. Tidak. Ia tak tahu sama sekali perihal mereka. Ia tak tahu apakah Lillac akan memeluknya erat atau menyindirnya habis-habisan. Apakah Jihan akan merangkulnya atau berpura-pura ia tidak ada. Apakah Aussie akan membahas kabarnya atau mereka asing lagi karena ia sudah bukan intel keluarga baginya lagi dan mereka tak punya lagi alasan mengobrol. Apakah Bunda akan membelanya atau memarahinya. Dan apakah Ayah akan meminta maaf atau malah menghukum kepengecutannya. Jingga penuh sekali akan takut.
Kereta sudah kosong. Keluarga Jingga celingak-celinguk. Melempar tanya pada Aussie dan Bunda. Jingga menciut. Ia melempar pandangannya ke Raka, lalu Lillac. Tentu Jingga tahu Lillac suka Raka. Tapi ia baru ingat sekarang.
Jingga pelan-pelan menggeser duduknya dari Raka. Pelan-pelan mengambil ranselnya dari cekalan Raka. Ia mengulum bibirnya.
Tiba-tiba jantungnya berdegup kencang. Jingga egois sekali Raka telah jatuh cinta padanya. Dia lupa, lupa sekali dengan Lillac. Dia penuh akan euforia sampai lupa kalau di sisi lain ada hati yang dia buat kecewa.
Jingga melenguh, butiran besar peluh menghujani dahinya. Perutnya tiba-tiba sakit. Mual memikirkan betapa jahatnya dirinya. Memikirkan betapa hancurnya hati Lillac gara-gara dia. Arah matanya tertuju pada Lillac dari dalam jendela. Antusias menunggu menjemput kakaknya. Jingga tidak tahu. Apa dia tahu Raka suka kakaknya? Apa dia tahu bibir Raka sudah menyetuh kelopak mata Jingga? Apakah dia tahu mereka berpelukan? Selama ini serumah? Semua yang terjadi beruntun selama Jingga pergi?
"Kak, kenapa?"
Jingga menelan ludah. "Nggak apa-apa." Dia mendesis. "Raka, kapan-kapan kita bicara, ya." Ia bangkit dari duduknya. "Sejauh ini ayo kita keep a distance for a while. I need to confirm something first."
"Distance? Why?"
"Lillac. Lillac itu pernah suka kamu. Aku lupa. Aku nggak mau ngekhianatin Lillac." Ia berbicara cepat. Ia mengulum bibirnya. Harusnya selamanya tak pernah ia dekat dengan seseorang yang pernah dicintai sebesar Lillac mecintai Raka—oleh orang terdekatnya. Tapi suara kecil di hatinya berseru atas nama takut—ia juga tidak mau kehilangan Raka.
Jingga mendesahkan napasnya. "After I confirm that she had stopped liking you, we'll talk again." Ia membawa kopernya. "Aku turun lewat gerbang sebelah. Kamu jangan ikutin aku, ya."
Lalu Jingga pergi dihimpun gerombolan orang lain. Raka ditinggal beku di tempatnya. Lillac suka Raka? Lillac ... suka dia?
Lillac suka dia?
Gemuruh di paru-paru Jingga semakin ribut sedetik setelah kakinya menapak Jakarta lagi. Sedetik setelah terhirupnya oksigen Jakarta, berebut lagi dengan keluarganya.
"Aussie." Jingga memanggil. "You're ... here."
Cepat-cepat Jingga menggaet telapak tangannya, menghentikan tremor tak terkendali yang menyerang jemarinya. Benar saja. Tangan Aussie lembap akan keringat. "Kalau aku nggak ikut, takutnya Kak Jingga kabur lagi." Ia memaksakan kekeh, suaranya selirih semut. Aussie punya gangguan kecemasan yang dipicu oleh kerumunan orang. Asalnya dari sesuatu yang terjadi dua tahun lalu. Jingga membawa Aussie ke pelukannya, mengusap-usap punggungnya. "You're okay." Ia berbisik.
Keluarganya yang lain menghampiri. Jihan diam dalam canggung. Tangannya bersembunyi di belakang punggungnya. Di sebelahnya, berdiri Lillac dengan cengir yang dipaksa dan mata yang berkaca-kaca. Melihat Jingga dengan kantung mata dan bahu melorot yang masih, masih cantik sekali dipandang mata menusuk-nusuk dadanya. Jingga mengingatkannya pada apa yang gagal dia punya.
Jingga berbisik pada Aussie. "Au, Lillac tau ga, Raka confess ke aku?"
Sebuah helaan napas terdengar, lalu Jingga merasa dagu Aussie menekan bahunya dua kali. Anggukan samar yang telah menjatuhkan semua organnya ke kaki.
"What should I do??"
"Honestly, Kak, I really dont know." Ia menepuk punggung Jingga. "Ikutin aja alurnya. You guys are sisters. Everything's gonna be okay."
Justru itu masalahnya. They are sisters.
Tautan itu perlahan melonggar. Tangan Jingga ditarik dengan lembut oleh ibundanya. Dengan penuh ragu ia membalas, tapi lama-lama rengkuhan itu jadi familier. Bahu Jingga merosot, badannya memberat ke bahu Bunda.
"Terima kasih sudah pulang, Jingga." Ia berbisik. "Makasih udah maafin Bunda."
Isak nan kecil menyapa telinganya. Lengan Jingga bergerak sendiri dan mengerat melingkari Bunda. Ia tak cukup percaya diri mengatakan sesuatu tanpa suaranya bergetar, jadi ia hanya menepuk punggung Bunda.
"Gimana perasaan Jingga sudah pulang?" Bunda bertanya lirih. "Kita semua bisa lakuin apa pun yang Jingga minta buat bikin Jingga nyaman lagi di rumah," ujarnya. "Tapi," Ia mendorong Jingga sekilas, hanya untuk menatap ke arah putrinya.
"Bunda kapok, Jingga. Janji. Kalau ada apa-apa, kita bicarain bareng-bareng, ya?"
Jingga meneguk ludahnya. Ia bisa dengar dengkusan serempak dari Jihan dan Aussie. Masalahnya, keluarga ini paling buruk dalam bicara satu sama lain.
Ayah hanya bicara pada terapisnya. Bunda merokok diam-diam karena Ayah tidak pernah bicara padanya. Kak Jihan punya dendam yang dia simpan yang membuatnya memilih kos Seila daripada kamarnya dari kecil—lagi pula kamar itu tempat Ayah bertanya padanya perihal kabar adik-adiknya, cuman adik-adiknya—Jihan dendam tidak ada yang tahu. Lalu Aussie seharian di rumah Rona, sampai rumah pun langsung telepon Rona—tidak ada yang senyambung Rona dengannya dalam bicara. Lillac sampai dikunci orang di gudang sekolah juga tak mau kasih tau orangnya siapa—entah apa alasannya. Lalu Jingga. Yang di tengah hiruk-pikuk semuanya, tiba-tiba kabur ke kota orang dan tidak kasih tahu siapa-siapa dia kenapa. Tidak kasih tahu siapa-siapa perihal kekalahannya yang memalukan itu.
Tidak ada yang tahu perihal sesuatu 21 tahun yang lalu. Tidak ada yang tahu Jihan sebenarnya dendam kenapa.
wow besok chap terakhir kp
ga besok si, next maksudnya
tp ga terakhir bgt si, kalo di film ibaratnya sisa berapa menit dah
gimana ya apasikkkkkk BTW JOIN CHANNEL WANGSAF AQ GUYZ LINK KAT KOMEN KAT BIO ADE JUGEhttps://whatsapp.com/channel/0029VakHssd05MUcqSmchA2p
KAMU SEDANG MEMBACA
krayon patah. [tercekal sementara]
Fanfiction❝Tentang krayon yang patah. yang masih bisa mewarnai. Tentang jiwa yang sepah. yang masih bisa mencintai.❞ 2O21 ; ©STARAAAAA-