22. Operasi Lillac

1K 140 89
                                    

Dari ventilasi kecil di pojok atas ruangan, sinar mentari pagi mengintip. Malu-malu menunjukkan cahayanya meski ia harus. Dan itu adalah hal yang membangunkan Jingga pagi ini.

Ia melirik jam tangan. Pukul 9 pagi.

Jingga beranjak. Kemudian ia bergidik kedinginan. Ah, ruang ini benar-benar membunuh. Jingga sendiri sudah tiga kali masuk ke ruangan ini.

Ia melirik ke pintu besi besar tersebut. Ia mendekat, mencoba membukanya. Lalu baru menyadari kalau pintu besi itu sudah tidak lagi dikunci.

Kemudian di bawah pintu ditemukannya secarik kertas dengan beberapa kata yang ditulis dengan spidol merah. Tulisan tangan yang besar-besar namun miring-miring menggemaskan milik ayahnya. Ah, sayang isi suratnya membuat Jingga muak luar biasa.

Ayah udah maafin kamu. Kamu udah boleh keluar. Nanti siangan, Pak Tama bakal jemput kamu ke rumah sakit. Dan kamu HARUS minta maaf sama Lillac, ya.

-Ayah

Isinya hanya itu. Ia bolak-balik pun ia tak menemukan tulisan lain. Barangkali memang hanya itu yangㅡpikir ayahnyaㅡperlu dilontarkan. Padahal Jingga berharap lebih.

Tolol, pikir Jingga. Surat berisi kalimat-kalimat sampah itu tampak amat menjijikan. Membaca surat lusuh itu baginya hanya membuatnya merasakan gejolak aneh di perutnya. Di matanya, itu tak lebih dari frasa-frasa kosong seorang pengecut.

Jingga itu pendendamㅡah, koreksi, pemendam. Ia bisa saja disakiti, lalu menyimpannya rapi di rak berisi memori, kemudian mengulang reka adegannya tiap malam seraya menangisinya. Dan itu benar-benar membentuknya jadi perempuan yang sensitif.

Ia juga terlalu lembut hatinya. Ia bisa menjual banyak sekali maaf, dan menerima ribuan pinta maaf. Tapi di kasus ini, ia tidak pernah merasa salah. Untuk apa ia dimaafkan, dan untuk apa ia meminta maaf?

Ayahnya selalu seperti itu. Ia selalu berusaha biasa saja. Berusaha menerima kalau memang sewajarnya, apa pun yang terjadi, Lillac tidak akan pernah salah. Tidak akan pernah. Karenanya, ialah satu-satunya yang belum pernah merasakan dinginnya ruang terkutuk ini.

Banyak titik di mana Jingga membenci hidupnya sendiri. Banyak titik di mana ia benci karena harus berada di kehidupan yang bukan milik orang lain. Banyak titik saat Jingga merasa ia datang dari tempat yang asing, karena di bangunan yang dipanggilnya rumah ini, ia tak pernah merasa dicintai secara benar. Ia tak pernah mendapat hal bernama keadilan seperti yang diceritakan teman-temannya di sekolah.

Seringkali ia, Jihan, dan Aussie berbagi pikiran. Lalu mereka pun merasakan hal yang sama. Terkadang terkesan berlebihan, tapi sungguh begitu mati-matian seorang kakak berusaha menyayangi dan terus memaafkan adik mereka yang terkadang telah merenggut hak-hak mereka.

Entahlah, terserah. Jingga hanya heran; posisi mereka berempat benar-benar sama-sama sebagai seorang anak, tapi kenapa cuma Lillac yang mampu merasa jadi anak raja? Kenapa bungsu tidak pernah meminta maaf? Kenapa terus kakak-kakaknya?

"Ck," Ia mendecap demi mengambil kembali kesadarannya, menyudahi lamunnya. Ia meremas surat sampah itu, kemudian melemparnya asal. Ia membanting pintu tersebut, lalu pergi ke kamarnya.

;

"Hari ini operasi, ya?"

Yang mendengar tanya dari Jingga, lantas menghela napas. "Iya, Kak. Nanti malem," sahutnya.

"Berarti ini kamu lagi puasa, kan?"

Lillac menyahut iya.

Setelah tak ada lagi pertanyaan dari Jingga, Lillac gantian melontar tanya. "Nanti malam, Kak Jihan bakal nemenin aku, kan, Kak?" pintanya lirih.

krayon patah. [tercekal sementara]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang