47. Rayuan Perempuan Gila

423 51 27
                                    

Jihan sedang berada di fase di mana kehidupan pelan-pelan kehilangan warna-warnanya. Di mana hal-hal kecil lagi indah dari menjadi manusia berubah memuakkan. Bau tanah sehabis hujan, kucing-kucing jalanan dan kupu-kupu, matahari terbit, makanan dan minuman favoritnya, lagu-lagu Nadin Amizah--baik yang terbaru atau yang memang kesayangannya sejak lama--sekilas seringai tipis pun tak terlukis. 

Ia seperti hadir dengan terpaksa.

Ia tak lagi suka hidupnya. Ia ingin pergi jauh tanpa mengajak siapa-siapa. Ia benci bagian-bagian cantik dari kehidupan. Bagian-bagian menggondokkan yang biasanya masih bisa ia rayakan. Pekerjaannya yang pernah menjadi impian terbesarnya. Pria baik yang punya sejuta sabar dan cinta yang sekarang jadi musuh terbesarnya. Dirinya yang biasanya ia bangga-banggakan atas bagaimana telah kuat ia menjadi. Perasaan ini membuat Jihan merasa tak pantas mencinta atau dicintai secara damai selamanya lagi. 

Malam-malam dulunya tenang. Ia mandi air hangat dengan sabun wangi sakura favoritnya. Diseduhnya cokelat bubuk favoritnya. Dimainkannya sealbum penuh Selamat Ulang Tahun oleh Nadin lalu ikut menyanyi dan menari sampai pegal dan sampai sengau suaranya. Ia mengapresiasi bulan bersama bintang yang walau kadang malu sampai kalah terang oleh lampu kota, lalu ia mengapresiasi dirinya. Menciptakan waktu di mana ia bisa merasa segar. Biasanya ia tak pernah lupa, tapi sekarang malam menjadi saksi bagaimana ia tak pernah kelewatan membuktikan pada dirinya kalau seorang Jihan kini sudah berhenti peduli. 

Malam-malam sekarang kelam. Ia menghabiskannya bergumul kemul yang sudah apek, menangis-nangis sampai ia sendiri lupa bagaimana sebenarnya menangis, sebab air mata-air mata itu berjatuhan begitu saja. Kentara jelas mereka memang sudah menahan diri sejak kali pertama Jihan bangun pagi. Sampai ia mesti merasakan pedih di kulit demi melega. Sampai dia harus mengingkari mulus cantik lengannya yang tak bersalah.

Lalu ia membebani Aksa, pria yang sejatinya hadir hanya demi rumah cinta yang penuh nyaman. Hal sesederhana itu pun Jihan tak mampu beri. Tiap malam, serapah dilempar sembarang arah. Jihan lupa sepatutnya cinta tak berupa makian. Toh, mungkin hal itu bukan betul-betul sederhana. Tapi Aksa mengusahakannya. Ia masih juga menghancurkannya. Sejatinya Jihan adalah wanita gila. Ia merutuki bagaimana takdir menjadi, padahal ia bisa saja pegang kendali kalau saja kepalanya tak begitu berisik.

Malam itu, ia bergemuruh tak terelak di bawah langit-langit mobilnya. Ia berteriak marah seakan kerasnya mesti ditakuti, sementara air mata berhujan di bawah netranya. Jemarinya mencengkeram roda kemudi kuat-kuat, berharap akan patah-patah di detik berikutnya. Kaki kanannya menginjak gas seakan tak peduli mati. Pada suaranya, ada frustrasi serta cemas akan kalah. Jihan benar-benar buta pada saat itu, entah apa saja yang telah dilukai oleh lidahnya.

Pikiran Jihan keruh. Di seberang panggilan, Aksa mencekal senjatanya sama kuat, hanya suaranya tiga kali lebih lembut dari Jihan. Ia sejatinya sebuah bingung diaduk kalut. Namun masih ia naungi Jihan dengan hatinya yang sebesar dunia. 

"Kamu bilang kamu bakal coba, nyatanya apa? Kamu masih belum bisa mengerti aku, Sa! Tolonglah! Aku lagi capek banget sama semuanya, Sa. Kerjaan aku berantakan, kita berantakan, keluarga aku berantakan! Aku! Aku berantakan, Sa! Tolong banget, kasih aku waktu! Kamu kenapa nggak pernah ngertiin aku, sih?"

"Iya, Ji. Aku minta maaf."

Isak sengau Jihan semakin keras. Sesungguhnya kacau ini ia yang ciptakan sedari awal.

"Kamu nggak pernah ngertiin aku."

"Iya, Ji. Aku berusaha, Sayang," balasnya selembut awan. Helaan napas panjangnya membuat hati Jihan memanas. "Kamu tolong kasih tahu aku harus gimana, aku nggak ngerti. Maaf, ya? Aku tahu kamu lagi nggak baik-baik aja, tapi tolong jangan semua kamu bawa marah, Ji. Aku juga capek ngeladenin kamu. Kamu bikin aku capek, Ji. Kamu bener-bener bikin capek. Aku sayang sama kamu, Jihan, tapi kamu bikin aku stres juga padahal aku udah usahain semuanya."

Peperangan mereka sampai di sana. Jihan tak mengeluarkan senjatanya lagi, ia hanya menangis nelangsa seakan mengaku kalah telak. Ia jadi sadar rumah nyaman yang mereka bangun telah meruntuh di tangan Jihan sendiri. Mimpi-mimpi membahagiakan yang mereka tenun telah hirap disobek-sobeknya. Aksa menjuangkan segalanya. Ia menghancurkan usahanya.

Jatuh cinta sudah selalu menjadi mimpi Aksa. Ia merayakan tiap bentuk dari perasaan itu. Sementara itu, Jihan hanya punya rumpang jelek untuk ia persembahkan. Jihan bawa tajam busuk kepunyaannya ke restoran-restoran, taman, bioskop--ke mana pun Aksa membawanya memestakan hari. Jihan menangis dan mengamuk pada Aksa yang mencintainya. Jihan berubah menjadi monster tak dikenal yang sudah merusak semuanya. Ia tak sabar cepat-cepat pergi dari sini. Jadi ia melakukannya malam itu juga.

Sudah cukup bagi Aksa bertahan pada puing-puing yang tersisa dari mereka, hal kecil yang siapa tahu tumbuh lagi menaungi cinta mereka. Jihan merasa semuanya sia-sia, sebab ganggu di kepalanya tak kunjung reda.

;

Pada malam itu, Aksa duduk di kursi paling belakang di bus transportasi umum untuk pulang ke rumahnya. 

Jihanku🐰❤️

Kalau begini mending kita udahan, Sa. Kamu bilang kamu juga capek, kan? Kita berhenti di sini, ya? Mulai sekarang kita bukan apa-apa selain rekan kerja. Terima kasih dan maaf sebanyak-banyaknya. Semoga lain waktu, kalau misal kita jatuh cinta lagi, aku sudah diriku yang benar kembali semua rusaknya. Nanti aku akan kasih kamu segala-galanya, tapi untuk sekarang, ayo menemukan diri sendiri kita masing-masing dulu.

Malam itu Jihan tidak ikut naik bus, karena keadaan sudah buruk pada mulanya. Gadis itu pulang dengan marah, menelepon Pak Tama agar membawakan mobilnya, lalu ia pergi dengan air mata yang bercucuran. Aksa berusaha membujuk dengan menelepon, meredakan badai yang telah mega. Tapi ia jelas tak berhasil.

Aksa menatap pesan itu lama sekali. Sejak hari itu sampai tiga hari kemudian, hari ini, Aksa tak pernah naik mobilnya lagi sama sekali. Ia pulang dan pergi, ke mana-mana, naik bus. Ada sesuatu yang dimula di suatu malam sana. Lalu sesuatu itu juga berakhir di sana. Aksa selalu kembali ke bus, mau apa pun kata aplikasi peramal cuaca, yang tak juga membujuknya mundur meski ia mungkin akan terjebak hujan-hujan atau terik-terik di halte kumuh itu. 

Aksa mencari perasaan yang sama di bangku kesayangan mereka. Barangkali melankolia yang bakal bersedih bersamanya. Atau secercah harap untuk didekap. Siapa tahu ia masih berkesempatan untuk tak benar-benar kehilangan cintanya,

Aksa terperangkap pada Jihan. Meski itu hanya bagian peninggalannya. Meski hanya tinggal sedih-sedih yang pernah dihadiahkannya. 

Mungkin Aksa yang salah. Aksa yang gila. Mungkin cintanya yang berkarung-karung besar terlalu menyesaki Jihan. Mungkin caranya bicara melukai hati yang harusnya inginnya ia jaga. Jihan bilang ia butuh waktu, tapi Aksa takut permainan licik masa turut merenggut gadisnya. Cintanya membuatnya takut. Lalu takutnya membuatnya egois. Mungkin Aksa sejatinya tak tahu tengah dan akan melakukan apa, yang ia tahu adalah ia tak boleh sampai kehilangan cinta hidupnya. Tapi karena ia tak mengerti mesti bagaimana, ia kehilangan semuanya. Ia kehilangan Jihan-nya.  

Sekarang Aksa merasa hampa. Ia tak pernah mencintai Jihan hanya dengan isi kepalanya, bukan pernah juga ia mencintai hanya dengan hatinya. Aksa mencintai Jihan dengan semua dari dirinya, dengan sepenuh-penuh jiwanya. Dipestakannya ria-ria segala bentuk dari Jihan yang menurutnya dikara tiada kira. Sekarang kepalanya kosong, hatinya hanya berisi lengang, dan jiwanya mati direnggut paksa. Sebab pestanya telah tumpah-ruah dan tamu-tamunya pulang dengan kecewa.

Dan Aksa masih di tempat di mana ia ditinggal. 

Puing-puing bekas pesta mereka memberantak seisi ruang hatinya. Ia punya pilihan membereskan semua kacau yang ada lalu merayakan dirinya sepenuh cinta. Tapi ia beku oleh sendu, di kepalanya masih berputar apa yang terjadi kalau seandainya semuanya baik-baik saja. Ia masih ingin merayakan cintanya. 

Aksa masih di bus yang sama. Aksa masih berpegang pada melankolia kesukaannya. 

sdih bet. ak gktw ak sdih krn chapnya sdih atw krna ini yg sempet keapus ituloh buset chap orinya lebih bawang lagi asli anjritlah. sdih. atw ak sdih krna gkda banner tbcnya ya, jd aneh bgt gt rsanyaaaaaa ancinkkk ksal 😭😭😭😭😭😭😭😭

krayon patah. [tercekal sementara]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang