"WARNAAAA!"
"HEH, PANGGIL AUSSIE AJA!"
"BODO AMAT! WARNA-KU SAYAAANG!"
"JIJIK, LIL, IH!"
Pagi-pagi, dan Bunda sudah dihadiahi teriakan serta pekikan sana-sini yang dilontarkan dua bungsu di keluarga Arditho. Yang tak akan dimulai sebelum Lillac berbicara; bungsu jahil yang tak kenal tobat.
Lillac dilahirkan sebelum waktunya. Saat ia berhenti tumbuh dalam rahim sang bunda, Lillac kala itu umur enam bulan. Sungguh adalah keajaiban besar Lillac bisa tumbuh.
Seumur hidupnya, Lillac sudah lima kali menjalani operasi besar. Ia amat sangat rentan. Di masa-masa sulit seperti itu, mereka benar-benar hanya selangkah untuk kehilangan Lillac kecil, untungnya Tuhan masih berbaik hati kembali menetapkan Lillac di pelukan Bunda. Dan syukurnya, sampai sekarang.
Mereka menjaga Lillac sepenuh hati. Tak apa mengorbankan diri, yang penting Lillac terlindungi. Meski sudah beberapa tahun sejak Lillac mengalami masa kritisnya, akan selalu terpatri di benak saat-saat ketika Lillac hampir meregang nyawa dan meninggalkan mereka semuanya. Jadi, sampai kapan pun, Lillac akan jadi prioritas.
"BUNDA, ENTAR SARAPANNYA MI GORENG, YA?" Si bungsu berlari riang ke arah dapur. Menyusul sang ibunda yang tengah mencuci sisa piring kotor, sementara Mpok Ani menyapu lantai meja makan.
"Heh, enggak ada. Janjinya apa? Mi cuma dua bulan sekali, 'kan?" Bunda mengernyit kecil, sementara tatapannya masih tak geser dari wastafel di hadapannya.
"Aduh, Bun! Hari iniiii aja! Lagian, kata Warna, janji ada untuk dilanggar!" seru Lillac berapi-api, hingga ia duduk di atas keramik samping wastafel. Ada jeda antara kompor serta wastafel di mana Mpok Ani biasa mengelap peralatan makan yang masih basah habis dicuci.
"Hush! Mana ada? Janji itu ada untuk ditepati! Kakakmu, tuh, ngawur," Bunda berkata seraya menciprat kecil air sabun ke arah Lillac.
"Mm, kalau sarapan nasgor Kak Jingga, boleh, enggak?"
"Kalo gitu, suruh dianya masak. Bunda mau mandi dulu," pamit Bunda, disambil mengelap tangannya pada handuk yang tergantung di dinding, "kamu cepetan mandi, gantian sama kakak-kakaknya. Oke?"
"Oke, Bun. KAK JINGGAAAA, SURUH MASAK NASGORㅡ!"
"Lillac, samperin orangnya. Teriak-teriak itu enggak soㅡ?"
"ㅡPan. Maaf, Bunda,"
;
Semua akhirnya sarapan bersama. Sesuai janji, Jingga yang masak. Nasi gorengnya selalu enak, entah mengapa. Tapi hanya nasi goreng. Benar-benar hanya nasi goreng. Masakan lainnya ... ya, kalian tahu sendiri.
Tiap hari, Lillac tak pernah absen meramaikan meja makan. Ialah orangnya yang bicara tiada henti demi menceritakan hari-harinya atau sekadar melontarkan lelucon. Meja makan ramai hanya karena dirinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
krayon patah. [tercekal sementara]
Fanfiction❝Tentang krayon yang patah. yang masih bisa mewarnai. Tentang jiwa yang sepah. yang masih bisa mencintai.❞ 2O21 ; ©STARAAAAA-