"Boleh." Jihan mengangguk. Setelah Pak Tama selesai dengan urusannya, mereka berdua berjalan kaki menembus malam. Jihan kira malam ini sial, nyatanya semua teromantisisasi sempurna. Mereka berbincang hangat di bawah bulan sabit. Semuanya terjadi begitu cepat, tiba-tiba jaket Aksa sudah berada di bahunya.
Beberapa meter sebelum sampai halte, rupanya mereka harus buru-buru karena busnya hampir pergi. Tiba-tiba, Jihan jatuh terjerembap di depan pintu masuk. Kakinya tak sengaja menginjak celana kulotnya yang kebesaran--ya, salah sendiri pinjam punya Aussie. Tapi sekarang kakinya pedih, lututnya terantuk anak tangga besi depan pintu bus tersebut. Pun dihunjam tatap begitu banyak pasang mata. Sudah sakit, malu pula.
"Maaf."
Semua sirna setelah Aksa berjongkok di hadapannya. Menghalangi pemandangan orang-orang dalam bus, yang terlihat hanya ia berlutut dari punggung. Ia menoleh ke balik punggungnya, lalu kembali menatap Jihan. "Santai aja, ya? Semua orang udah balik ke urusannya masing-masing," ucapnya. Lalu membantu Jihan bangkit dengan dua tangannya.
"Bisa jalan, kan?" tanya Aksa dengan nada alangkah lembutnya.
Jihan mengangguk kecil. "Tapi tuntun," tuturnya gemas. Aksa tertawa mengangguk. Tampak berkali lipat lebih manis di mata Jihan.
Akhirnya dengan bantu Aksa, Jihan berhasil duduk di kursi kosong yang sialnya hanya di ujung belakang bus. Ia duduk di dekat jendela, sementara Aksa melindunginya di sampingnya.
"Lecet, enggak? Aku bawa antiseptik semprot kalau kamu butuh," tawar Aksa. Namun belum sempat diiyakan, ia segera berlutut dan menyemprotkan alkohol dingin ke lutut Jihan. Lagi-lagi, Aksa berkali-kali lipat lebih memesona.
Akhirnya hening menyita suasana. Sebab kedua pihak telah mulai dikuasai kantuk, tapi Jihan masih memaksa terjaga karena rawan baginya, seorang perempuan.
"Tidur aja. Aku janji nggak bakal ketiduran." Si pria perhatian itu mulai lagi. "Kepalamu mau disandar di manakah? Jendela atau bahu aku?" Ia bertanya dengan sangat lugu.
"Sa." Jihan melenguh frustrasi. "Kamu kalau suka bilang aja, deh. Aku gemetaran mulu kalau kamu begitu," ujarnya. Ia pun entah atas dasar apa bisa seberani itu, semoga Aksa tak menangkapnya secara aneh.
Pria tersejuk itu malah terkekeh pelan. "Boleh, nih?"
"Hah?" Badan Jihan menegak.
"Call me a hopeless romantic, tapi karena iya, jadi aku sebaliknya panggil kamu sebagai bentuk harapku," tambahnya. Dunia Jihan rasanya terbalik atas bawah, sontak ia merasa mual seakan ayam yang ia makan memaksa kembali ke permukaan.
"I do like you, Jihan Dava. You have bewitched me, body and soul. And i want to love you."
"What the fuck. Kamu lagi bercanda, ya? Kamu jelas bercanda." Jihan hilang akal setelah mendengar sendiri Aksa mereferensi Mr. Darcy, laki-laki fiksi kesayangannya. Darahnya seakan berbondong-bondong lari ke pipi, membakarnya. Rasanya Jihan bahkan bisa loncat dari bus yang berjalan sekarang saat ini juga.
Lagi-lagi si pria yang tak sedang merasa bersalah itu, tertawa hangat. "What was the what the fuck for? The fact that i watch Pride and Prejudice too?"
"Cih, sialan."
"Mrs. Aksa?"
"Diem," bungkam Jihan galak. Jelas wajahnya yang sudah memerah nyala sudah disadari oleh Aksa. Tawa Aksa memudar seiring hening kembali hadir di antara mereka. Jihan mendecih, "Malah diem beneran. Terus ini gimana--?"
"Jadi gimana?" Aksa bertanya hal yang sama pada saat yang sama, seakan mengingatkannya kalau kali ini harusnya gantian Jihan yang bersuara.
Jihan mengulas senyum tipis. Setelah berkali-kali tarikan napas, ia menyodorkan telapak tangannya. Aksa menautkan miliknya, telapak tangan mereka berbeda besar di ukuran.
"I like you so much, Jihan." Aksa meremas tangan mungil Jihan di genggamannya. Ia membawa tautan mereka ke dalam jaketnya, memberikan Jihan kehangatan yang nyaman. "From the very first day. Berkas-berkas aku jatuh, kamu yang entah dari mana datangnya tiba-tiba bantuin aku, kita manggil satu sama lain dengan Mas sama Mbak, then the awful joke yang kamu tiba-tiba keluarin, terus kita ngitarin gedung bareng. Momen itu diulang-ulang terus di kepalaku. Aku kira habis itu semuanya sudah, tapi tiba-tiba aja kita bertiga ke mana-mana barengan."
Jihan manggut-manggutu. "Wow," gumamnya.
"Well, I like you too, Sa. Entah sejak kapan, entah momen apa yang keputar-putar di kepalaku sejak i fell for you. Entah, aku juga bingung.But it's the way you talk, the way you cerish the people around you by treating them well yang juga dirasain sama aku. Aku ngerasa dihargain dan dilihat, dan aku apresiasi orang yang berhasil membuat aku merasa seperti itu. Aku suka cara kamu bersyukur sama semua yang pernah terjadi di kehidupan kamu, semangat kamu buat hidup tuh kayak nular gitu, loh. Dan walau kita nyatanya baru kenal beberapa bulan, rasanya aku sudah tahu kamu bertahun-tahun, Sa. Poin plusnya lagi, kamu suka Jane Austin juga."
Hati Jihan rasanya digembus-kempeskan. Semuanya keluar begitu saja dari bibirnya, mengangkat bongkahan besar di hatinya. Ia tiba-tiba merasa seakan selama ini ia tak bernapas dengan benar saking leluasanya dadanya sekarang.
Jihan meregangkan punggungnya rileks. Semakin mengikis jarak antara mereka dua, sampai hal selanjutnya yang ia tahu, kepalanya telah bersandar nyaman di bahu Aksa. Hening kembali menyapa, keduanya sibuk mencerna apa yang baru saja terjadi. Memproses hati dan merutuki bibir masing-masing yang telah tak sabaran demi membawa mereka ke langkah ini.
"Hey," panggil Jihan. "Can i trust you?"
Aksa menoleh. "I would be honored, Ji."
Jihan mengembus napasnya panjang. "Selama ini, sejak aku tahu tentang perasaan-perasaan sebangsa ini, aku banyak banget mempercayakan hati aku. Terserah dia, terserah mau ke mana pun dia nyamannya. Gagal-gagal yang pernah terjadi membentuk aku jadi hopeless romantic yang penuh sama takut. Aku takut aku nggak berhak jatuh cinta karena banyaknya rumpang dari aku. Makanya saat aku tahu kalau faktanya kamu yang jatuh hati duluan, aku kayak lupa sama takut-takut yang bersarang. Aku jadi pede dikit, ternyata aku punya juga sesuatu untuk dipegang sama hati orang lain."
"Tentu, Ji. Tentu." Badan Aksa menegak sampai kepala Jihan lengser dari pundaknya, "Menurutku, kamu lebih cantik dari perasaan berjatuh cinta itu sendiri. Menurutku, tiap-tiap bagian dari kamu, baik yang indah atau bercelah, mendapat tempat untuk dicinta, dan aku akan sangat-sangat hati-hati kalau aku punya kesempatan berjatuh cinta sama mereka."
Jihan mengulum senyum. "Boleh aku senderan lagi?"
Senyum Aksa turut terbit. Mereka masih jauh dari rumah. Ia kembali menyandarkan punggungnya, memberi bahu untuk Jihan. Lalu ia mengistirahatkan kepalanya di atas kepala Jihan. Malam ini, sesuatu benar-benar terjadi.
"Terima kasih banyak, Sa. For falling in love with me."
"Enggak perlu. Thank you for letting me, Ji."
"Btw, kita kok jadi puitis gitu, sih?"
this is a sign for me to take a night bus ride with my crush (i saw him ngeboncengin temen ceweku and dai ngajak temenku fotbar trus aku yg disuruh dimintain tolong sama dia buat motoin mereka) (ak hrus curhat) (pengennya jihan aussie tp malah jingga lillac) BTW INI GAADA BANNER TBC EUFHWEFHWF SEDIH BGT BERASA ANEH BGT SEBAB AK DI LAPTOP HPKUU UCAKKKKKK SDIH
KAMU SEDANG MEMBACA
krayon patah. [tercekal sementara]
Fanfiction❝Tentang krayon yang patah. yang masih bisa mewarnai. Tentang jiwa yang sepah. yang masih bisa mencintai.❞ 2O21 ; ©STARAAAAA-