Yara seperti orang lain.
Padahal, sahabat terdekatnya dilarikan ke rumah sakit.
Padahal, sahabat terdekatnya tengah memerangi rasa sakit sendirian.
Padahal, sahabat terdekatnya tak salah apa-apa lagi begitu peduli.
Padahal, ia yang jahat di sini.
Padahal, sahabat terdekatnya masih begitu baik hati.
Padahal, padahal, padahal. Sedangkan Yara duduk di suatu meja di kafe tengah kota yang padat makhluk remaja, di tengah-tengah sekelompok teman-teman barunya. Ada tawa menguarㅡhingga gebuk meja saking antusiasnyaㅡsampai pembicaraan kotor tentang orang lain di mana mereka harus mengecilkan volume seakan kegirangan mereka tadi tak pernah terjadi. Lalu nanti akan diimbuhi tawa penuh sarkas.
"Eh, emang, anjir! Si Lillac aja sampe ngarep-ngarep Kak Raka nolak elo demi doi!"
Yara koar-koar paling heboh. Ia mungkin tak sadar apa saja racaunya. Mana yang bohong, mana yang ia janji untuk simpan. Yara bocorkan semua yang bahkan bukan rahasianya demi menjelek-jelekkan Lillac. Seakan Lillac telah kejam. Seakan Lillac bukan sosok paling baik yang telah mengorbankan semuanya. Yang telah menyelamatkannya.
"Pffft, yang ada Raka muntaber," sahut Una, mengundang tawa menggelegar di antara meja mereka. Dan Yara yang paling heboh, mengangguk-angguk setuju sampai bertepuk tangan.
"Dia ga sadar dia kayak tai? Ngecrushin Raka yang spek fiksi? Otaknya di mana, ya? Sher, coba awasin barang lo, ada otak Lillac, ga, tuh, di situ?" gurau Una mengimbuh-imbuh.
"Duh, ada, paling. Tapi ga kasat mata, cuy, saking mungilnya," imbuh Sheren, kembali membuat gelegar tawa.
"Ya sama aja kayak kakak-kakaknya, si Jinggong apalagi. Pada gatau diri semua," ganduh Una begitu membara. Sampai kembali muncul tawa-tawa lainnya.
Rasanya tawa Yara begitu bebas. Beberapa dari sisa-sisa bahagia karena ia duduk di tengah kelompok yang ia damba sejak lama, selain dari gurauan-gurauan jahat yang terlontar. Yara seperti menemukan tempat ia sepantasnya berada dan yang seharusnya sejak sangat lama.
Bukan Lillac. Bukan karaoke di kamar Lillac atau memasak bareng di dapurnya. Bukan memakan bekal yang dibawakan ibu Lillac seporsi lagi untuknya. Bukan dijemput Lillac setiap dia harus pulang terlambat karena piket. Bukan ditemani tiap buang air kecil ke kamar mandi. Bukan menyalin pekerjaan rumahnya. Bukan duduk selalu berdua di lapangan. Bukan ke kantin selalu bersama. Bukan Lillac. Bukan Lillac, sekarang. Bukan Lillac lagi. Lillac hanya bagian mungil dari kehidupannya, bukan teman yang besar seperti yang biasanya.
Perihal hubungannya dengan Lillac, biarlah Yara memilih lupa. Toh, itu cuma relasi kecil antara satu individu dan individu lainnya yang saling ada dan membutuhkan. Lillac juga akan lupa. Yara sudah berhenti membutuhkan Lillac. Lillac saja sudah punya segalanya dan tak pernah memerlukan Yara. Biar itu yang dikorbankannya. Yara punya teman-teman baru, dan ia lebih senang memiliki teman seperti mereka. Toh, Lillac punya teman semudah bernapas.
Detik ini saja cukup. Yara akan lupa apa saja yang telah ia dan Lillac lalui. Sebagian besar makanan di kantin yang Lillac belikan buatnya, barang-barang lucu yang Lillac hadiahkan mahal-mahal padanya, bahu serta telinga yang selalu rela Lillac sediakan buatnyaㅡpokoknya sosoknya yang selalu di sekitar Yara kalau-kalau ia butuh.
Ini adil bagi Yara.
;
Malam hari goleran di ranjangnya, di mana Yara berpikir hari ini akan berakhir baik. Sampai ia mengecek ponselnya, dan hampir ratusan pesan membanjiri group chat angkatan. Horornya, mereka menyebut-nyebut namanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
krayon patah. [tercekal sementara]
Fanfiction❝Tentang krayon yang patah. yang masih bisa mewarnai. Tentang jiwa yang sepah. yang masih bisa mencintai.❞ 2O21 ; ©STARAAAAA-