"Kak Jingga,"Yang dipanggil sebenarnya dengar dengan jelas, hanya bibirnya yang seakan tak mampu berbicara apa-apa.
"Kak, ini jam berapa? Ayo masuk, jangan di sini," Sembari berbicara, Lillac menghampirinya dan menyelimuti bahu Jingga dengan kardigan putihnya yang dibawa dari ruangan Aussie.
"Kenapa? Kakak mau di sini duluㅡ,"
"Kak," pungkas Lillac yang sekarang telah duduk di sampingnya, "Gapapa, ayo masuk."
"Lil," ujar Jingga pelan tapi penuh tekan, "Kamu enggak tau, gimana sakitnya dikhianatin sahabat sendiri. So please, leave me alone,"
"Temen-temenmu semuanya baik-baik, Lil. Kamu juga punya temen banyak banget, dan semua temenmu nyaman sama kamu. Kamu punya banyak tempat cerita, rumah lain yang enggak kalah hangat. Kamu bisa lari ke mana aja kapan pun kamu mau,"
"Banyak orang yang Kakak kenal, tapi enggak ada yang senyaman mereka. Temen Kakak cuma dua, dan mereka berdua pada akhirnya punya rumah yang enggak ada Kakak di sana. Walau pun mereka enggak pernah nyingkirin Kakak, tapi Kakak enggak akan bisa ngerasa jadi bagian dari mereka lagi,"
"Kak ...,"
"Tolong, Lil. Kamu mau masuk, ya, masuk aja. Kakak mau di sini aja, oke?" pungkas Jingga, ia harap untuk kali yang terakhir.
"Kak," ujar Lillac kembali, "Pernah denger istilah ini, enggak?"
"Mana?"
"Hidup yang lagi kamu keluhkan, bisa jadi yang sedang orang lain dambakan," sahutnya mengutarakan salah satu kutipan terfavoritnya.
"Kenapa gitu?"
"Yaaa ... mohon maaf dulu, nih, aku juga kadang iri sama Kakak," jawab Lillac tepat beberapa detik setelah ia berujar bak seorang motivator, "Labil tapi gapapa," tambahnya.
"Kkkk, kenapa?" Jingga terkekeh atas labilnya adik bungsunya.
"Kakak cantik," sahut Lillac malu, "Kakak juga pinter. Banget."
"Itu?" tanya Jingga, "Kamu juga cantik, kok. Lagian, cantik itu relatif. Beberapa orang juga ngerasa kalo Kakak jelek. Dan pinter itu enggak wajib, yang penting enggak bodoh,"
"Aku bodoh," timpal Lillac cepat.
"Kata siapa?" sahut Jingga kembali, "Kamu cuma belum mulai merubahnya. Kakak juga terlahir enggak tau apa-apa. Lagian, kamu enggak sebodoh yang sampai enggak pernah naik kelas,"
"Kakak baik," Lillac masih sibuk menyahut.
"Loh, emang kamu jahat? Kamu begal?"
Lillac berdecap, otak kakak keduanya ini super kreatif. "Ah, intinya jangan ngeluh, Kak. Kakak punya banyak hal yang cewek lain enggak punya, kenapa bukan itu yang Kakak syukuri?" ujarnya memungkas.
"I know, but ...," Jingga menghela, "It's never enough,"
"Habis ini, they will leave meㅡno, they already did, Lil. Setelah mereka tahu Kakak tahu," tambahnya. Ia sudah melalui banyak sekali hal semacam ini.
Jauh di dalam relungnya, ia teramat iri pada Lillac. Karena anak cantik sederhana itu mampu membuat semua orang nyaman di dekatnya. Ia punya ribuan cara menciptakan banyak relasi dan kemudian mempertahankannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
krayon patah. [tercekal sementara]
Fanfiction❝Tentang krayon yang patah. yang masih bisa mewarnai. Tentang jiwa yang sepah. yang masih bisa mencintai.❞ 2O21 ; ©STARAAAAA-