"Lo di mana, anjing?"
Jingga telah lelah memutar matanya jengah sedari tadi. Jadi ia cuma menunduk, menatap kakinya yang rasanya hampir patah.
"Sidoarjo, Kak."
"Anjing, gila! Sama siapa? Ngapain di sana?"
"Tolong kecilin suara Kakak, plis. Aku di publik," balas Jingga sewot. "Jangan kasih tahu siapa-siapa."
"Bapak lo sampe mintol polisi anjing. Mending lo pulang, sumpah. Atau sekalian shareloc, tunggu di tempat, gua datangin."
Jingga mendecap benci. Tidak masuk akal, kecuali nama panjanh Jihan itu Jihan Maximoff. Tapi mungkin saja, habis, entah bagaimana Jihan tepat waktu menelepon saat ia sedang mematikan mode pesawat—atau mungkin ia memang ditelepon setiap saat—yang jadi pertanyaannya sebenarnya; mengapa pula ia angkat?
Jingga akan jawab sendiri; ia mengharap sedikit sesuatu.
"Ñggak usah pikirin akulah, Kak. Aku mau punya waktu sendiri. Prioritasin aja yang lain dulu."
Tentu Jihan tak setuju. Suaranya kembali meninggi. "Lemari kamu kosong, Jingga. Gimana kalau kamu nggak pulang?"
Jingga mengerling pada kopernya. "Yaa, nggak gimana-gimana. Ga penting, kali." Dari jauh pun, Jingga bisa melihat Jihan melayangkan raut protesnya. Tergambar detail alis-alis Jihan yang mengkerut serta bola mata yang hampir mencuat keluar.
Jingga mendesah, "Udah, berhenti mikirin aku."
"Setelah kamu di kereta perjalanan pulang."
Jingga kembali mendecap jengah. Hatinya seakan panas, sarat kesal pekat. Di antara semuanya, tentu Jihan yang paling batu. Jarang terlihat begitu karena ia paling sedikit membangkang, tapi ia tak pernah mengikuti aturan yang ia benci. Ia tak pernah tak setuju, tapi kalau ia mau, ya, ia bisa belok dari alur kapan saja.
Membantah Jihan hanya akan membuatnya capek sendiri.
"Udah, Jingga. Orang-orang capek," ujar Jihan.
Ada hening sejenak. Suara hati yang mencelos tak pernah segini lengang. Jingga mendengkus kecil. "Aku juga capek, but no one really fucking cared."
"Apaan, sih? Kamunya memang juga peduli? Dari dulu yang kamu pikirin juga belajarmu doang. Udah, tolong pulang. Kakak mohon banget. Kali ini aja pikirin kami. Kasian Ayah, kasian Bunda, kasian Kakak. Kasian semuanya di sini, jadi kerepotan."
Jingga tergemap sejemang. Pasak seakan menusuk jantungnya mendengar rentetan kalimat acak tersebut. Mereka semua dalam satu tarikan napas, membuat Jingga enggan memercayai.
"Halo? Udah, ya, Kakak pesenin tiket kereta sekarang."
"Ga." Jingga menolak.
"Maksudnya?" Suara Jihan mengeras. "Udahin semuanya, Jingga. Nggak usah kekanakan. Stop egois dan mulai pikirin semua orang selain kamu."
"Sekali-kali kasian sama Jingga juga, Jingga mohon."
Hening.
Jingga mohon.
"Coba Kakak bilang itu ke Ayah, atau minimal ke Lillac? Coba kalian yang sekali-kali pikirin aku. Kakak pikir aku kabur-kaburan kayak gini biar apa? Ya biar dapet perhatian kalianlah! Puas lo anjeng?!"
"Kakak tau nggak aku kalah dari pertandingan kemarin? Kakak tau nggak Sahira sama Nagara pacaran? Kakak tau nggak Ayah nampar aku dan mereka nyalah-nyalahin aku karena masalah Lillac habis itu mereka nyuruh aku minta maaf walau aku nggak tau apa-apa?"
KAMU SEDANG MEMBACA
krayon patah. [tercekal sementara]
Fanfiction❝Tentang krayon yang patah. yang masih bisa mewarnai. Tentang jiwa yang sepah. yang masih bisa mencintai.❞ 2O21 ; ©STARAAAAA-