41. Luap Yang Dipersilakan

585 79 108
                                    

Kepalannya tak mengeras sampai buku-buku tangannya mencuat, tapi jempolnya hampir menancap di telunjuknya. Wajahnya tak kaku, malah melembut, tapi bibirnya digigit-gigiti sampai ia bisa mendeteksi darah menyapa lidahnya.

"That's so fucked up. I'm really sorry ..." bisik Raka, menatap sendu Jingga. Sang nona menggeleng. "You don't need to be. Toh, aku nggak sampai sempat diapa-apain sama orang-orang itu, syukurnya."

"Ya, but, still. I- huft." Ia menghempas napas. "Aku beneran nggak bisa ngebayangin kalau sampai terjadi apa-apa sama kamu waktu itu, Kak. That was so close, Kak. You were just that close to ... Oh, God."

Jingga diam menanggapi Raka. Namun matanya terus terpaku pada tangan Raka yang saling melukai. Napas Jingga memburu, ia berusaha kendalikan lewat bibirnya.

Semuanya begitu tanpa aba-aba. Air mata sudah memupuk diri di sudut matanya. Siap akan meleleh kapan saja. Kakinya di bawah telah gemetaran. Ia menunduk, tak berani menatap mata Raka yang menanar biru.

Setetes air mata jatuh melesat. Mata Raka menyala menangkapnya. Tiba-tiba saja mata Jingga hujan deras dengan napas beradu. Ia mengepalkan kedua tangannya jadi satu seraya menutup wajahnya dengan itu. Dan Raka diam, menonton seperti orang tolol.

"Kak ..."

Tangannya bahkan tak berpindah tempat. Bibirnya hanya menyapa dengan lirihnya. Tapi ainnya tak pernah membohongi. Seribu jawaban disimpan di sana andai ada yang ingin membaca matanya.

Tapi Jingga bahkan tak menatapnya.

Jingga bukan miliknya untuk bisa ia kecupi ubun-ubunnya agar tenang. Jingga bukan miliknya untuk dia genggam tangannya kala gemetaran. Jingga bukan miliknya untuk ia tangkupkan pipinya lalu menghapus jejak basah di sana jadi jejak cium. Jingga hanya ... bukan miliknya.

Jadi Raka diam sebentar. Kebingungan. Menatap hal yang dia cinta. Menatap hal yang berharga.

"Can i hug you?"

Raka akam bertanya-tanya sampai bertahun-tahun ke depan; bagaimana bibirnya bisa mengucapkan kalimat itu?

Tapi rasanya ingin sekali Raka memeluk Jingga.

Jingga diam sebentar. Ia mengusap jejak basah di pipinya, kemudian mengangguk kecil. Raka dengan cekatan pindah duduk di sebelah Jingga, demgan canggung merentangkan tangannya.

Jingga melebur jatuh ke sana. Raka mendekap erat. Tak mau dilepas. Jingga temukan nyaman di dalam sana. Ia menarik napas panjang, tapi Raka yang lega. Biar Jingga tinggal sementara di sini.

Sepuluh menit berlalu. Isak Jingga semakin kuat, dan dekap Raka melebih erat. Ia mengusap-usap bahu Jingga.

"Maaf, ya, aku jadi nangis." Jingga terisak di bahu Raka.

"Nggak apa-apa, Kak, Astaga. Kamu udah bilang begitu belasan kali, dan jawabanku juga belasan kali," sahut Raka dengan suara setenang danau. Dengan canggung, ia menepuk bahu Jingga.

"Aku tadi takut banget diapa-apain ...,"

Hampir saja Jingga tak pulang. Hampir saja semuanya rusak dengan memgerikan. Jingga akan bilang apa kalau sampai terjadi yang ditakutkannya?

Bahkan salah seorang pria tadi sudah hampir menyentuh pahanya. Ia sudah terpojok di dinding. Napas mereka telah terbaui hidung Jingga dan itu benar-benar momen mengerikan. Bagaimana kalau tak ada penyelamatan baginya dari Tuhan saat itu? Ia ditemukan hancur. Berdarah-darah, terlukaㅡbisa saja sekarat.

Tapi Tuhan masih baik. Masih mau ia pulang.

Raka menghela napas. "Kakak nggak tahu betapa bersyukurnya aku, Kakak nggak jadi diapa-apain. Untung aku kecelakaan, ga, si, Kak."

krayon patah. [tercekal sementara]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang