Semuanya sedang bersantai di ruang Lillac, malam itu. Menonton Opera Van Javaㅡmungkin, hanya Ayah yang fokus. Lillac main pop it sambil sesekali curi pandang pada televisi. Bunda dan Jihan bantu mengerjakan tugas matematika Jingga, sesekali dua Ji tersebut berdebat untuk jawaban mereka yang selisih beberapa.
Dan seperti biasa, Aussie diam di pojok dan sibuk dengan ponselnya.
"Jingga," Jihan yang mulai lelah, menatap Jingga dan bersuara dingin, "Kakak tadi udah jelasin, jawabannya itu selisih dua karena kamu harusnya tambah sama yang ini dulu!"
"Terus dapet enamnya dari mana? Penjelasan Kakak muter-muter doang dari tadi!"
"KAMU YANG LEMOTT!" Jihan berdiri, melempar boneka Lillac sembarangan.
"YA GAUSAH EMOSI, DONG!" Jingga turut berdiri, menendang kaki meja. Mereka berseteru tatap.
"Ck, berisik," Aussie mendecih pelan, "Aku jadi ga denger dia ngomong apa," ujarnya, menunjukkan satu oknum di video amatiketu yang tengah ditontonnya.
"Mute aja," celetuk Lillac.
"Mute gimanaㅡ?"
"Kaminya," tambahnya, "Kami tinggal di-mute,"
"Hah?" Aussie mengernyit.
"Dari tadi juga kamu begitu," ujar Lillac, "Pura-pura nggak denger. Dari tadi aku nge-jokes ke kamu tapi di-ignore. Kenapa, sih? Kamu masih marah sama aku?"
"I don't know what you're talking about. Kalo emang gua ga denger, tinggal ulang, kaliㅡ,"
"Ngapain marah, sih? Kejadian Yara udah beberapa hari lalu, juga. Toh, aku udah ga bela-bela dia lagi," pungkas Lillac cepat, dengan gerak mata mengesalkan. Duo Ji pun jadi diam.
"Lho, siapa yang marah, sih? Lu juga ngapain bawa-bawa Yara? Hubungannya sama anak gajelas itu apaan?" sergah Aussie kasar.
"Aussie," Bunda menegur.
"Bunda bela gue," ujarnya, penuh menang.
Ia baik-baik saja pada awalnya, bahkan emosinya hanya naik satu pitam. Namun tiba-tiba Lillac memamerkan wajah bangganya. Ia tersenyum miring, matanya menyipit bangga. Seakan berkata lewat wajahnya, bahwa ia akan menang.
Bukan itu masalahnya bagi Aussie. Hanya, hatinya sedikit sakit atas iri pada Lillac. Apalagi, wajah menangnya menusuk Aussie begitu dalam.
"Gue tau. Gue juga denger," kaul Aussie, menyudahi perdebatan dengan pergi. Tertatih-tatih keluar ruangan, menggunakan tongkatnya.
"Udah, Bun, biarin aja. Toh, gaada bedanya dia di sini atau enggak," Lillac menyahut dingin. Menutup pintu setelah Aussie keluar, menatap tajam kakaknya itu sebelum meninggalkannya di luar sendiri.
Tidak ia sangka. Harusnya tidak begini hari ini.
Padahal hatinya, mau berubah.
;
"Gue takut sama Mama,"
Rona hanya memberinya tatap nan kesal. Alisnya menukik tipis dengan raut yang datar. Seksi, tapi geli buat Ashley. Barangkali, hanya di mata Aussie dan para adik kelas raut tersebut tampak lugu tapi memikat dengan entengnya.
"Gapapa, gue yang nyampein," Tangan Ashley digeret Rona ke meja makan. Tempat sang ibu duduk merajut seraya menyesap tehnya.
"Ma, Kak Ashley mau ngomong," ujar Rona. Duduk di sebelah Ashley, berhadapan dengan ibu mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
krayon patah. [tercekal sementara]
Fanfiction❝Tentang krayon yang patah. yang masih bisa mewarnai. Tentang jiwa yang sepah. yang masih bisa mencintai.❞ 2O21 ; ©STARAAAAA-