43. Semuanya Dalam Sewaktu

611 85 84
                                    

tw: sh

"ㅡya, lagian aneh, kan, Na? Terus kekㅡ,"

Suara isak tahu-tahu melintas telinganya. Ia berhenti.

"Hah? Kenapa, Au? Terus apaa?"

"Wait, kayaknya tadi gua denger suara nangis, tau," Ia menatap horor Rona di layar ponselnya. Rona pun beku di seberang panggilan.

"Ini jam sebelas malem, lhoo, Auuu," Rona terkekeh, "Udahh, hus-hus. Latihan jalannya hari ini udahan aja. Sekarang kamu bobo. Ntar diculik suster ngesot, mau?"

"Ish, Na! Minimal temenin gua sampe kamar!"

Suara isak tersebut kembali menyapanya. Namun sedetik kemudian ia tahu itu suara yang dikenalnya.

"Na, nggak jadi. Matiin aja,"

"Iyaa. Bobok, ya, My Dove. Kalau nggak bisa tidur, nanti telepon aku lagi aja," balas Rona, "Rona loves you uncountable, jelek."

"Love you much more, pendek,"

Aneh, ya. Rona dibilang pendek cuma karena dianya lumayan tinggi. Tapi adil.

Setelah panggilan terputus, ia simpan ponselnya. Ia coba menarik napas, lalu bergerak mendekati sumber suaraㅡbak orang-orang sok berani di film horor. Kalau Krayon Patah ini memang bergenre horor, di adegan inilah Aussie dalam bahaya. Tapi rasanya ia betul-betul yakin ini suara yang dikenalnya.

Aussie jalan pelan-pelan ke sumber suara, menuntunnya ke halaman outdoor di tengah-tengah rumah—pelan-pelan karena memang ia baru saja belajar jalan kembali dengan sempurna. Ia melihat seorang perempuan. Berjongkok di tepi kolam renang. Seluruh tempat ini hanya disinari bulan dan lima biji lampu tiang.

"... Kak Jihan?"

Betulan, wanita itu menegapkan punggungnya kemudian berbalik badan. Basah memberantaki wajahnya. Sontak Aussie mendekat.

"Kakak kenapa nangiss?" tanyanya lembut.

"Nggakㅡ,"

"Hei, udah, nggak apa-apa. Semuanya udah tidur, Kak," Aussie menyampingkan rambut Jihan dari wajahnya dengan gerak hati-hati, "Cuma aku di sini. Aku doang yang tahu, aku doang yang liat, ya?"

Setetes air mata kembali melintas tanpa sempat Jihan kendalikan. Wajah Aussie begitu lembut, seperti peluk yang mengizinkannya basah kuyup. Seperti sebuncah kehangatan yang menyambutnya luruh.

"Kakak kenapa nangiss? Mau cerita?" tanya Aussie pelan.

Jihan menggeleng, berusaha tersenyum simpul.

"Yaudah. Mau pindah tempat? Mau ke kamarku, nggak?" tawar Aussie kembali. Jihan akhirnya mengangguk. Ia yang membantu Aussie berjalan.

"Tadi aku digojekin Rona kwetiau. Masih ada sebungkus lagi. Kakak makan, ya?" bujuknya, "Berpura-pura tetep butuh energi, Kak." Ia menyeloroh. Dan berhubung Jihan lapar, ia setuju-setuju saja. Mana kwetiau juga favoritnya.

Aussie menyetel televisi, menemani Jihan makan. Menyimpan ponselnya di nakas.

"Kakak cuma kangen Eyang."

Aussie tersentak kecil, sontak ia mengecilkan volume televisinya.

"Kakak kangen banget sama Eyang. Biasanya kalau lagi kayak gini, pasti Kakak nelpon Eyang. Walau Eyang angkat besok paginya, sih."

Jihan mengusap jejak basah di pipinya cepat-cepat, lalu menyuap sesuap kwetiau lainnya. Kemudian, ia tertawa canggung guna mencairkan suasana, walau nihil usahanya.

krayon patah. [tercekal sementara]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang