55. Train Ride

226 30 6
                                    

Sepanjang perjalanan, Jingga mengizinkan tubuhnya direngkuh lengan Raka. Jingga merasa aneh, tapi ia merasa nyaman. Ia menarung isak dua menit sekali, tapi Raka bantuan besarnya.

Sampai Jingga akhirnya jatuh lelap. Kelopak matanya telah mengatup dan mengunci erat. Lentik surai bulu matanya hinggap di atas pipinya, menggambar garis gelap di sana. Badannya melemas sepenuhnya telah, dan Jingga jatuh ke dada Raka. Napasnya tenang, beraturan.

Raka dengan pelan mengubah posisi mereka menjadi satu yang sedikit lebih nyaman. Kepala Jingga bersandar di bahu Raka, napasnya hangat menabrak kulit lehernya. Tangan Raka mengunci, melingkar di sekitar tubuh Jingga. Sementara jemarinya masih berlagak pena nan melukis di sela-sela akar rambutnya.

Itu kedua kalinya Raka lihat Jingga tidur. Pertama kalinya itu dua tahun lalu. Masih menjadi pengalaman terhorror sepanjang hidupnya. Jingga tergeletak di lantai ruangan rapat OSIS. Bercak darah menghias. Rupanya mengucur dari hidung Jingga.

Oke, mungkin bukan tidur dulu. Pingsan.

Raka yang menggotongnya ke UKS. Menemaninya sampai ia bangun, tapi ternyata butuh hampir seharian. Badan Jingga panas gila, tak menyentuhnya pun kulitnya bisa merasa. Dia dijemput supirnya di sore hari, akhirnya. Malamnya bahkan, Raka sudah komunikasikan ke anggota lainnya jadwal menjenguk sang ketua OSIS ke rumah sakit untuk keesokan harinya. Tak menyangka tepat besoknya ia bertemu Jingga di sekolah, sang gadis telah bangkit dari kuburnya. Kembali menjadi Jingga yang semua orang kenal. Hanya sangat, sangat pucat. Suaranya sangat, sangat lemah. Dan setumpuk tisu bernoda merah mengunung di atas meja kerjanya.

Kalau diingat, sejak hari itu Raka sadar ia telah jatuh hati pada sang Jingga. Entah apa yang membawa badannya bergerak seperti itu, tapi ia geret lengan Jingga ke UKS, dan memaksanya tidur.

"Tidur, Kak. Aku bakal di sini terus sampai Kakak tidur."

"Gila kamu?!"

"Kakak yang gila. Aku mohon, tidur. Ada Kak Sahira di sebelah, kok. Aku mohon. Aku nggak bisa liat Kakak kayak gini."

Raka keluar dari tirai. Mengambil kursi, dan menunggu Jingga tidur. Badannya kaku, napasnya memburu. Ia sedikit-sedikit mengintip jika-jika Jingga sudah lelap. Sedang Jingga sekali-sekali mengintip kalau-kalau Raka sudah enyah. Ia melempar matanya pada Sahira di bangsal kanan. "Tidur aja." Ia menyetujui.

"Apaansi buset, tuh orang? Sokab, najis, gila. Lu juga. Tai lu semua. Tai satu dunia. Gua gamau tidur, anyinggg!" Jingga protes banyak sekali. Menyebutkan satu-satu alasan dia harus tetap bangun. Namun suaranya bahkan lebih lirih dari bisikan, dan ia butuh tenaga banyak barang untuk mengangkat telunjuknya. Butuh setengah jam sampai Jingga merela. Dan ia lelap lenyap di bawah awasan Sahira dan Raka. Raka baru kembali berani mengintip setelah beberapa menit berlalu tanpa cerocosan rewel, dan badan kecilnya telah tetap dan beraturan. Matanya terpejam penuh nyaman. Diselimuti kemul hangat sampai dada. Jingga tidur lama.

Wajah tenang Jingga selalu mode paling cantiknya, menurut Raka. Paling ia suka.

Dan Raka sadar di situ; baginya, Jingga cantik. Lebih cantik kalau bahagia. Lebih cantik lagi kalau bahagianya karena ia.

Raka seringkali menatap dengan sakit dari jauh. Jingga banyak tawanya; kalau di sekitar Nagara. Seseorang yang dengan putus asa Jingga cinta. Yang menggambar gelaknya sedikit lebih banyak warna. Daripada Raka yang—entah, terlalu lembut? Terlalu garing? Terlalu aneh? Terlalu polos? Terlalu tidak lucu? Dia ini cocok atau tidak sama Jingga?

Tapi Raka tidak ingat pernah peduli perihal itu sebelumnya. Melihat senyum Jingga terlukis pada bibirnya akan selalu—selalu—cukup baginya, siapa pun pelukisnya. Bahkan satu yang tak bisa ia tandingi. Ia hanya ingin Jingga bahagia.

krayon patah. [tercekal sementara]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang