50. Bond

378 46 52
                                    

Bunda sedang dalam perjalanan menuju lokasinya. Jingga bodo amat dengan rencana mereka, yang ia sudah tak sabar sejak pekan lalu itu hanguslah biar. Ia menuntun Ayalia bersama Marini untuk duduk menunggu di bangku. Gadis itu pucat pasi, tubuhnya lemas sampai tak bisa berdiri sama sekali. Bagian belakangnya juga tak nyaman sekali karena basah darah, Jingga sampai melepas sleveless tee yang dikenakannya untuk diikatkan ke pinggang Ayalia, sedangkan ia hanya mengenakan tanktop dan jaket Raka yang masih bisa ditembus dingin fajar.

Lima menit kemudian, para laki-laki itu baru sampai. Jingga benar-benar sedang berusaha tak menangis melihat kembali wajah-wajah menjengahkan satu-persatu mereka itu.

Tas Jingga dan Ayalia sudah siap di samping kaki mereka. Raka menyadarinya dengan cepat.

"Mau ke mana?"

"Balik. Mikir, anj¡ng," sahut Jingga ketus.

"Loh—" Suara Raka tercekat ketika Jingga berdiri menantangnya.

"Lo abang macem apasih? Lo COWOK macem apasih? Gue nyesel senyesel-nyeselnya pernah kenal sama lo, tau, ga?" Ia berujar penuh tekan. "Abis nganter Ayalia, gue bakal langsung cabut ke Jakarta."

"Hah? Lia kenapa?" Ia mengerling ke adiknya yang sedang memejamkan matanya.

"You just proved my point by being clueless, Ka. You're a useless piece of shit and it pukes me that you were walking around thinking you're a good brother, but you're actually a disgusting person that don't deserve to have little sister for how fuck¡ng insensitive you are as a man!"

"Kak, i really hope you can just tell me what happened with Aya that she has to go home." Raka menyela.

"Oh, great! Another misogynic man that underrate period pain!"

"Kak, I never said that. If she must go home, then she will. What about you, then? Will you still come?"

"Gila, lu. Trus adek lu balik sendiri? Gue balik juga. Plus do you think im enjoying this? Your friends has been sexualizing me since the first they even met me. People, even you, uncountably told me I'm pretty, but in reality I'm not more than a soulless body, IYA, KAN? GITU? Makanya lo diem daritadi gue dilecehin KARENA LO SETUJU, IYA, KAN?"

Raka terdiam. Menegup salivanya. Rasanya ia ingin membongkar organnya dan bunuh diri menyadari selama ini Jingga tak nyaman sama sekali.

"Im going home. Sampai kita ketemu di Jakarta, kita orang yang ga pernah saling kenal. Gua ilfeel banget sama lo." Suara Jingga habis. Kini sedikit pun ia berbunyi, air mata pasti akan meleleh membanjiri pipinya kala itu juga.

"Aduh aing teu ngerti, jir, pada ngomong apa—Eh, itu mobilnya, Ji!" Marini menyahut di tengah hening. Jingga tak menjawab, hanya mengangguk. Ia menggotong dua tas besar itu sendirian, sementara Ayalia dibantu dituntun Marini ke mobil.

"Eh." Jojo berceletuk. "Jaketnya menang banyak, nanti diendusin, tuh, Ka."

Jingga belum berjalan jauh. Ia melempar  tasnya dengan manasuka, kemudian mengambil batu sembarang sebesar telapak tangannya dan melemparnya ke arah Jojo. Tidak kena alat kelaminnya, tapi ia bisa mendengar suara tulang kering yang renyah.

"Bngsat! Cewe anj¡ng!" Jojo berteriak kasar.

"GUKGUK, KNTOL!" Jingga menjawab tak kalah kuat, sampai pegawai POM pun mengerling ke arahnya. Alih-alih merasa kuat, ia benar-benar merasa seperti anjing jalanan menjijikkan yang kalau kesakitan hanya dianggap menggonggong mengganggu semua orang.

Di belakang punggungnya, terdengar suara gebukan yang kuat. Ia dengar suara Raka. Ia tahu detik itu pula Raka mengorbankan 'teman-temannya' yang ia sebelumnya pastikan Jingga akan akrab juga. Pegawai laki-laki di POM itu berlari lawan arah darinya, berusaha memisahkan pertengkaran besar empat lawan satu itu. Jingga sekarang terlalu marah untuk peduli.

krayon patah. [tercekal sementara]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang