29. 'Si Paling' Berusaha

451 53 40
                                    

Bundie
|Malam ini kt dinner di luar ya, Ra
|Kita ngerayain ulang tahun kamu

Anda
LOH?|
IYA BUN?|

Bundie
|Mumpung di jkt
|Besok lgsg pergi soalnya sama kakak-kakakmu

Anda
bun, baru tadi siang sampai jkt?|
oalah pantesan tiba-tiba mau| ngerayain SEMINGGU SEBELUM ULTAH AKU, ternyata gabakal available di rumah wkwk

Bundie
|Iya, ra. Makasih pengertiannya
|Ikut ga?

Anda
👍 |

Ia melempar ponselnya ke ujung kasur. Belum ada notifikasi dari Lillac sejak dua jam lalu paragraf berisi maaf itu dikirimnya. Rasanya capek Yara seperti komplit.

Yara telalu lelah hari ini.

Sampai ia hanya bisa berbaring di karpet menghadap langit-langit. Air mata berhimpun, tapi tak di mana-mana. Di pipi, di bibir, leher, dada paling sesak. Tapi tak pernah di matanya kecuali ia marah atau takut. Andai ia takut akan lelah. Andai ia marah akan sedih.

Yara tumbuh dipeluk bingung. Tak tahu apa yang salah karena ia tak pernah mengerti rasanya merasa cukup untuk sedikit pun iri. Memang apa yang salah? Memang kenapa? Kalimat tanya itu terukir pada dahinya. Atau melingkari lehernya. Mencekik. Mau mati.

Jadi, Yara punya kakak perempuan. Dua. Kembar. Tujuh tahun di atasnya. Serta seorang ibu yang cantik tak dikira. Mereka luar biasa. Mereka segalanya. Definisi sempurna. Keluarganya diciptakan saat Tuhan sedang senang. Tapi sebelum gilirannya, mungkin di surga ada kekacauan kecil.

Akhirnya mereka tumbuh. Hanya segitu. Hanya mereka. Dilihat dunia. Terluka tapi sempurna.

Hanya kakak-kakaknya terlalu berisik untuk memiliki reputasi bagus. Yara yang lihat. Ibunya terlalu pemarah untuk senyum yang ia punya. Orang lain tak memiliki mata Yara. Yara yang menangis untuk mereka. Siapa yang peduli kantung mata si anak bungsu? Biasa.

Itu, kan, hukuman.

Yara mengerti. Ibunya cerita. Dulu mereka punya ayah kandung. Hanya ia pergi dan berhenti peduli. Selesai di ulang tahun ke-delapan keluarga itu, saat si kecil Yara bahkan belum genap setahun. Tapi yang tahu punggung beliau hanya kakak-kakaknya untuk bisa rindu. Yara tak kenal siapa-siapa sebagai sosok ayah, jadi ia kira ibunya cukup. Mungkin ia yang tak cukup.

Sedang Yara hanya seorang kecil. Harapannya saja yang besar, ingin menggerakkan hati yang luas dari miliknya yang hanya tahu sedikit hal. Tapi hati ibunya pun ia tak mampu.

Si kembar menjadi kaya. Punya uang sendiri. Pergi ke mana-mana demi bertemu orang-orang keren. Bertanya bagaimana mereka begitu cantik atau tips bagi waktu antara sekolah dan menjadi terkenal. Kehidupan seperti itu lekat pada kakak-kakaknya dari dulu.

Yara senang. Ia bisa pamer tentang kakak-kakaknya ke teman-temannya semasa SD. Ibunya juga senang. Yara selalu puas mengalkulasi detik-detik senyum ibunya terbit seperti sebuah matahari pukul enam pagi. Setiap nama putrinya yang bukan miliknya mendarat di bibir itu.

Yara tak punya apa-apa kecuali kebencian adalah hal pelukis bangga. Yara sendiri bangga, toh, karena ia tak benci keluarganya. Lillac yang tak bangga, karena kebenciannya tumpah semua pada dirinya sendiri. Ia bungsu seperti Lillac. Hanya tak punya apa-apa. Semua habis diraup kakak-kakaknya. Beda dari Lillac. Ia matahari di rumah itu. Sedang Yara hanya asteroid mungil.

krayon patah. [tercekal sementara]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang