31. Hukuman

839 128 153
                                    

"Ayah, plis. Jangan hukum Yara ...," isak Lillac di lutut ayahnya, ditonton empat anggota keluarga lainnya.

"Enggak mungkin, Lil. Kalo pun Ayah enggak mau hukum, Kakak bakal hukum dia sendiri," Jingga turut berbicara, "Dan Una juga,"

Aussie menahan lengan Lillac, menggenggamnya marah. Nyeri Lillac rasa, tapi ia tak bereaksi apa-apa. "Kak Aussie, maaf ...," Ia berbalik, terisak.

"Kak Jingga ...,"

"Kamu ngebela dia kayak dia pahlawan, padahal dia hampir ngebunuh kamu, Lil. Secara sepenuhnya sadar," Jihan bersuara, menekankan tiap frasanya, "Jangan buta,"

"Udahlah," tegas kakak sulungnya, "Lebay,"

"Seenggaknya biar Yara kapok, Lil. Terutama Una. Tolong sadar, kalau enggak semua orang di dunia ini bisa kamu percaya," Jingga menimpali, "Biar kamu belajar kalau orang jahat bakal tetep jahat,"

"Ayah bakal hukum Yara dan Una. Ayah bakal bicarain ini sama kepala sekolah," final Ardhito. Aussie yang menahan linang air matanya, sontak berembus lega. Berbanding terbalik dengan Lillac yang segera meluruhkan air matanya.

"Ayah ...," tangisnya.

"Udah, Nak. Ikut Ayah," Ardhito menggandeng Lillac keluar ruangan, meninggalkan istri dan anak-anaknya di kamar atas permintaan Raina.

Setelah kepergian putri bungsu dan suaminya, Bunda bernapas lega. Ia menghela dalam, membuat tiga kakak Lillac sontak menunduk.

"Kok bisa?" lirihnya.

"Maaf, Bun. Jingga enggak ngawasin Lillac," ujar Jingga membuka suara pertama, "Jingga lalai, lupa kalau Lillac butuh kami,"

"Kamu selalu kayak gitu, Jingga," timpal Raina frustrasi. Ia memejamkan ainnya, lelah sebab masalah nan bertubi-tubi.

"Kak Jingga enggak salah, Bun. Lillac yang salah. Kami udah berusaha sebaik mungkin buat ngejaga dia, tapi Bunda liat sendiri, dia milih ngebela Yara," Aussie membela, "Jangan kita terus yang salah, dong, Bun,"

"Tapi ...,"

"Bun, udahlah," tegas Jihan nyalang, "Lillac juga udah gede," Jihan turut menimpali. Ia harus menyudahi ini.

"Maaf, Bun. Jingga tau Jingga bisa bantu Lillac, sebenernya. Buat Jingga, Lillac udah cukup dewasa buat tau siapa yang harus dia percaya. Tapi ujung-ujungnya, Lillac lebih mentingin kepercayaannya dibanding keselamatan dirinya sendiri. Kalau begini, mau kami cegah juga dia bakal tetep jatuh ke si Yara,"

"Yara itu orang spesialnya Lillac, dan Una itu manipulatif abis. Jelas Lillac bakal terus percaya sama Yara. Lillacnya yang ngeyel, Bun. Kami curiga sedikit aja dia langsung ngelindungin Yara," ujar Aussie menimpali. Menjelaskan perlahan-lahan demi secercah pengertian, karena sungguh, di mata kedua orang tua ini, Lillac tidak akan pernah salah.

"Tapi Lillac, kan, ditipuㅡ,"

"Tuh, kan. Bunda lagi-lagi belain Lillac. Padahal justru lebih enggak masuk akal Bunda nyalahin Jingga sama Aussie," tutur Jihan memungkas, "Cukuplah, Bun. Kita fokus sama yang udah ada aja. Yang udah lalu biarin aja. Enggak perlu ada yang disalahin antara kita semua, cuma si Yara sama Una,"

"Bunda harusnya ... lihat dari semua sisi, Bun. Bukan selalu dari kacamata Lillac. Ujung-ujungnya, Ayah sama Bunda cuma nyalahin kami bertiga. Tolong, sesekali kami dimengerti juga. Kami berusaha ngertiin Lillac demi Ayah sama Bunda, kenapa kalian bahkan enggak pernah coba?"

Semua diam setelah Jihan membungkam dirinya. Hanya Jihan yang berani melalukan itu, pastinya.

;

krayon patah. [tercekal sementara]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang