35. Bentuk Sakit Hati

879 132 47
                                    

"Aku nggak mau nggak ikhlas."

Jihan mendengarkannya.

"Tapi ... masa iya sama sekali enggak ada terima kasih, sih," cibirnya. Membuat Jihan terkekeh.

"Konyol," selorohnya, tak sengaja menoyor Aussie sampai terbentur pinggiran ranjang. Jihan panik, Aussie juga. Pandangannya buram sebentar, tapi tiba-tiba ia tergelak.

"Cie, panik," guraunya, "tapi sumpah, sakit banget, juancok," berangnya seraya mengusap-usap kepalanya.

"Maaf, deh," kekeh Jihan, "toyoran barusan nyimpen energi sebulan."

"Iyaaa deh iyaaa, si paling sebulan," Aussieㅡdengan wajah ketusnya yang dibuat-buatㅡmenyuap lagi sesuap nasi goreng itu ke mulutnya.

"Si paling sebulan, apaan?" tawa Jihan lagi.

Aussie terbahak. Menggeleng-geleng. "Kak Jihan bukan anak TikTok," ucapnya.

"Emang itu tren TikTok?"

"Gatau juga, sih," sahut Aussie. Cuma dengan itu, mereka tertawa lagi. Tidak jelas, garing, receh, tapi bahak mereka benar-benar menepisnya.

Tok! Tok!

Keduanya hening, menoleh ke arah pintu.

"Kak Hanjiii!"

Suara Lillac.

Kepalanya mengintip ke dalam, menyapa Kak Jihan. "Kak, ke kamar aku, dong. Aku kangen," pintanya dengan raut melas.

Keduanya diam. Aussie cuma menatapnya datar, sementara Jihan membeku. Di dalam selimut, tangan Aussie sudah saling meremat. Menahan amuk.

"Kak Hanjii, masa sama Aussie teruuus," sungutnya.

"Sabarr, tohh," sahut Jihan, menatap Aussie tak enak. Pasalnya ini adalah pertama kali setelah beberapa bulan; mereka bercengkrama lagi. Tapi ini belum lama sama sekali. Bahkan Jihan baru dari ruangan Lillac.

Dan itu membuat Aussie geram. Ia turun dari ranjangnya, berjalan pelan ke pintu dan membukanya lebar-lebar.

"Bisa, nggak, gausah caper?"

Lillac tergemap. Membalas tatapan nyalang Aussie dengan heran. "Hah? Caper apanya?" balasnya bersungut-sungut.

"Lo caper banget, jijik gue,"

Lillac menatapnya heran. Mengernyit sedalam-dalamnya. "Kamu kenapa, sih? Aku cuma mau manggil Kak Jihanㅡ,"

"Bisa nanti, ga? Kak Jihan lagi ngobrol sama gua," tekannya menyela, "Emang dia kakak lo doang, apa?"

"Ya emang, sih," ganduhnya sendiri, "Jadi apa, dong? Takut?"

"Hahㅡ?"

"Kamu takut kalau aku akrab sama Kak Jihan? Kamu takut nggak punya tempat? Kan? Makanya narik-narik Kak Jihan," Aussie mendengkus sebelum Lillac sempat berbicara. Gadis bungsu itu cuma geming.

"Menurutku, ya, kamu ga usah khawatir. Di sini bakal selalu gua yang ga pernah punya tempat, Lil. Orang-orang nemenin lo karena lo istimewa. Karena lo spesial. Karena lo ... sakit," cercanya.

"Tapi gue lagi sakit juga, nih," senyumnya tipis, terkekeh ketir, "Gue juga mau ... ditemenin,"

Tatapan tajamnya tak melembut sama sekali, tapi kali ini ada sebuah gurat sedih yang Lillac tangkap sekilas.

"Pusat dunia bukan lo, jadi, jangan egois. Ga usah kayak punya segalanya."

;

Citt!!

Bunyi decit yang jelek terdengar. Lux, mobil Aussie, diparkirkannya begitu saja di luar gerbang sekolah.

krayon patah. [tercekal sementara]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang