21. Menangisi Pintu Besi

994 148 99
                                    

Mata sayu itu sedikit demi sedikit membuka. Namun sedetik kemudian menutup kembali tepat setelah cahaya tajam lampu putih di tengah ruangan menusuk retinanya.

"Bundaa," panggilnya lemah. Ia mengernyit kecil. Mata sayunya membuka kembali, kemudian pelan-pelan mengerling ke segala arah.

Ini rumah sakit. Ini bangsalnya.

Lillac mengembuskan napasnya lega. Kemudian senyum sumringah terlukis di bibirnya. Mengiringi jatuh dramatis air mata ke bantal putihnya.

Ia memejamkan matanya kembali. Menghadiahkan syukur terbesar pada Tuhannya.

Bunyi pintu nan terbuka menggagalkan tidurnya. Ia menoleh, lalu mendapati Aussie menghampiri dengan kursi rodanya. Segera Lillac duduk bersandar pada bantalnya.

"Udah bangun?" tanyanya hati-hati.

"Belom. Ini masih tidur," sahut Lillac, yang lantas ditanggapi kekeh oleh kakak ketiganya tersebut.

"Lil," tuturnya dalam setelah kekehnya mereda. Raut wajahnya tegang dan serius, membuat leher Lillac geli.

"Nape, sih?" tanyanya tak nyaman.

"Kamu tau, enggak? Aku hampir kehilangan kamu," ujarnya tajam, "Siapa yang ngunci kamu di gudang? Bilang ke kita, Lil. Aku, Ayah, Kak Jingga bakal cari pelakunya sampe dapet. Dan demi apa pun, dia pantas di-drop out,"

Lillac mengerjap. Menahan napas saat Aussie perlahan mengubah suara lembutnya.

Lillac tahu bahwa yang mendorongnya adalah Yara. Seperti ia tahu bahwa ini adalah rencana Yara dan Una. Yang ia pun tahu permintaan maaf berbanjir air mata itu palsu, diada-adakan, dan merupakan rencana mereka menghancurkan hidup seseorang yang mereka berdua benci; dirinya.

"Aku enggak tau. Kayaknya waktu itu, aku enggak sempet liat," sahutnya, "Itu juga enggak sengaja, kok, Au. Waktu itu aku disuruh ngambil bola basket buat anak kelas 12 praktik. Eh, tiba-tiba pintunya kekunci dari luar. Mungkin waktu itu Pak Ikhsan enggak sadar aku di dalem,"

Hati Lillac menjerit memberontak. Ia hampir kehilangan semua yang telah dibangunnya, lantas dengan entengnya dirinya sendiri melindungi mereka yang pulang sekolah tanpa merasa bersalah. Atau barangkali sekarang sedang memikirkan strategi berikutnya untuk melenyapkan kekuatan hatinya sepenuhnya. Sungguh, Lillac membenci bibirnya yang kelu saat ia sendiri bisa membalas telak kelakuan ampas mereka hanya dengan berkata jujur.

"Au," Lillac menatap mata Aussie dalam-dalam. Tangannya yang tertusuk jarum infus itu bergerak perlahan, lantas menggenggam punggung telapak tangan Aussie seraya tersenyum lembut.

"Aku tau kamu ketakutan waktu itu cause me too. Tapi hari itu udah kemarin, sekarang aku udah kembali ke kalian lagi, kan?" ujarnya lembut, "Jangan takut lagi. Aku bakal selalu pulang ke rumah kita. Aku janji,"

"Bilang ke Ayah, Pak Ikhsan-nya jangan diapa-apain. Dia enggak sengaja," ujarnya seraya mengusap penuh lembut punggung tangan Aussie, "Jangan gugat siapa-siapa. Enggak ada yang salah,"

"Lil," Aussie menarik kembali tangannya.

"Hm?"

"Bukan Yara, kan?"

Senyum Lillac memudar pelan. "Bukan. Pasti bukan. She's my bestest bestfriend, kok. Dan kami udah baikan," jawabnya, kemudian mengembangkan senyumnya lagi. Menguasai kembali tangan kurus Aussie.

Aussie mengangguk. "Ya udah, nanti aku sampaiin ke Ayah. Cepet sehat, ya. Kamu bentar lagi mau dioperasi, kan?" ujarnya lembut, "Nanti, habis kita berdua sepenuhnya sembuh, kita jalan-jalan ke hutan, lihat rusa. Just the two of us,"

krayon patah. [tercekal sementara]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang