"Bunda pulang kapan?" Jingga bertanya.
Ibunya terkekeh kecil. "Kayaknya hari ini, Kak. Sebenarnya tadi Bunda lagi siap-siap packing pas kamu telpon. Kamu gimana, hm? Kalau misal masih belum mau pulang, Bunda tambahin uangnya."
Tentu Jingga kaget sedikit. Ini benar-benar baru. Bibirnya mengulum. Ia garuk kepala. "Gatau, ah, Bun. Aku gak mood lagi di sini. Paling hari ini juga, atau besok. Ga enak, ngerepotin orang tua Raka juga," jawabnya. "Tapi kalo Bunda masih ada sejutaan, Jingga nggak nolak, sih."
Bunda tertawa. "Ya udah, nanti Bunda transfer." Mobil ibunya itu berhenti di depan gerbang rumah orang tua Raka. "Kamu anter dulu, gih, adeknya Raka itu, biar istirahat. Nanti kalo jadi pulang hari ini, kamu kabarin Bunda aja, kalo kamu mau kita barengan."
Jingga mengangguk, mengusap pelan lengan Ayalia yang tak lama langsung terbangun. "Udah sampe rumah. Bisa turun, nggak?"
Ayalia mengangguk. Dengan gerakannya yang masih lemas, ia membuka pintu dan berusaha menggotong dirinya bangkit. Jingga membantunya sebisanya, menumpunya begitu ia turun.
Setelah berpamitan dan berterima kasih pada ibundanya, ia menuntun Ayalia masuk ke rumah. Ia duduk di sofa.
Menunggu sebentar sementara Jingga bolak-balik dapur mengambilkan snack dan air putih. Ibu Ayalia keluar dari kamarnya, terkejut mendapati mereka berdua entah dari mana.
Jingga menjelaskan bahwa Ayalia rupanya datang bulan hari ini dan terpaksa pulang karena perutnya nyeri, lalu pulang bersama Jingga akhirnya.
"Oalah, astaga. Emang kayak gini, Ji, Ayalia kalau awal-awal haid. Aduh, Nak, Ibun kan udah bilang tanggalnya harusnya dicatat," ujar ibu tirinya lembut seraya mengusap rambut Ayalia. Ia hanya melengkungkan bibirnya, padahal memang haidnya yang bulan ini terlalu cepat.
"Terus, Kak Raka mana—?"
Memotong pertanyaan ibunya, suara benturan kencang terdengar dari luar rumah. Disusul umpatan tertahan seorang pria
Ketiganya saling pandang, Jingga bangkit. "Izin cek, ya, Tante."
Mendapat permisinya, Jingga berlari kecil ke pintu luar rumah. Sebelum tangannya mencekal gagang pintu, pintu kayu besar itu sudah terbuka duluan. Jingga melompat kecil di tempatnya, mendapati Raka dengan siku berdarah dan lebam di matanya serta luka kecil di sudut bibirnya. Berantakan, Jingga pikir.
"Misi, Kak."
Jingga bergeser, lalu ia menyelonong masuk dan berlari ke kamar mandi.
"Mas Raka?"
"Iya, Bun. Bentar!" sahutnya dari dalam kamar mandi. Jingga masih di tempatnya, menyadari tak ada orang bersama Raka. Dan motor Marini yang notabenenya lumayan besar, baring tergeletak.
Jingga mengulum bibirnya, menghela napas. Ia mencoba mendirikan motor berat tersebut, sebelum Raka berlari kembali ke luar dan membantunya memarkirkannya tanpa suara. Dari dekat, Jingga baru sadar banyak luka kecil lain di sekujur tubuh Raka.
Ia melengos pergi kembali masuk ke dalam, menyambar tasnya. Jingga mengikutinya, mendapatinya ia sudah duduk berlutut di bawah kaki Ayalia sembari membongkar tasnya.
"Maafin Mas, ya. Mas nggak peka daritadi. Ini Mas tadi di minimarketnya sebenarnya beli jajan, terus tahu kamu haid Mas tambahin jajannya, ada coklat-coklatan juga. Maaf, ya, sekali lagi. Mas beliin obat anti nyeri buat haid juga, kata apotekernya, sih, pakai ini bisa ngurangin juga? Aneh, sih, soalnya Mas beli ini biasanya buat pusing. Tapi Mas tetep beli, hehe. Maaf, ya, sekali lagi, Yaya."
Setelah diam untuk mengambil napas, Raka meraih tangan Ayalia. "Dimaafin, ndak?"
Ayalia mengangguk, masih cemberut. "Tapi sedih, nggak jadi naik gunung."
KAMU SEDANG MEMBACA
krayon patah. [tercekal sementara]
Fanfiction❝Tentang krayon yang patah. yang masih bisa mewarnai. Tentang jiwa yang sepah. yang masih bisa mencintai.❞ 2O21 ; ©STARAAAAA-