44. Sumpah Rambut Aussie

529 93 57
                                    

a dose of rona-aussie uwu-uwu buat mnebus ak yg lama tdk up up 😗😗


"Pelan-pelan, hey! Au!" 

Gadis pirang itu tertawa santai tak kenal takut, gesturnya melambai tanda jangan khawatir. Rona pelan-pelan kembali duduk, tapi belum pantatnya menyentuh bangku, ia sudah tegak lagi. "Au! Pelan-pelan ..."

"Apaansiii, duduk tuh duduk aja, deh! Emang aku bocil gabisa jalan??" balas Aussie, berteriak dari kejauhan.

"Emang bocil," cibir Rona. "Dan emang gabisa jalan."

Aussie merotasikan bola matanya. Sekali lagi ia hampir terjatuh, Rona yang sigap berdiri, lalu duduk lagi saat Aussie terbahak. Lama-lama Rona merasa tak ada gunanya ia panik. 

"Gua pulang aja, dah, Au," ketusnya.

"Ih, bacot banget, sii. Pacarnya lumpuh, nih."

"Woi, mulut." Rona menyergah, duduk kembali.

"Kenapa mulut aku? Mau dicipok?" balas Aussie seraya menjulurkan lidah. Sekali lagi ia hampir kehilangan keseimbangan dan Rona yang langsung sigap akan lari.

"Huek," sahut Rona. Membuat Aussie tertawa.

Rona mendekati Aussie. Duduk di tepian kolam, membelakangi kolam ikan yang tak jauh dari Aussie. Mereka sedang berada di halaman belakang rumah Ardhito, ruangan outdoor kecil tapi masih disekelilingi dinding karena di tengah-tengah dalam rumah. Aussie daritadi berjalan berkeliling, berpegangan dinding sampai lima kali putaran, sementara Rona duduk (yah, tidak juga, sih) di sebuah bangku panjang di depan pintu kaca, menonton Aussie yang katanya malas dibantu.

Tiba-tiba, Aussie jadi diam. Senyum giginya sirna, bertukar sebuah kesenduan.

"Semalam aku lihat Kak Jihan di situ, Na. Lagi nangis," ujarnya pelan, menunjuk tempat Rona duduk di tepi kolam itu dengan dagunya.

"Nangis?" ulang Rona.

Aussie mengangguk, kali ini ia berjalan menghampiri Rona. Memutuskan untuk menyudahi latihan jalannya. "Waktu semalam kita teleponan itu, loh," ganduhnya.

"Ohhh, iya-iya." Rona mengangguk. "So, what happened?? Mau cerita?"

Aussie diam sejemang. Kini ia duduk di sebelah Rona, main cabut-cabut rumput kecil di pinggiran kolam. Rona menggeser duduknya sampai lengannya menempel lengan Aussie, karena ia tahu kalau tengah sedih begini, suara Aussie pasti kelewat lirih dan ia tak mau kelewatan tiap keluhannya tanpa harus membuat Aussie mengulang-ulang kalimatnya.

Aussie masih diam. Ia kemudian menaruh dagunya ke atas bahu Rona, menyandarkan diri di lereng lehernya. "Aku sedih banget, tau, Na ...," adunya dengan bisik.

Rona tak menjawab, ia menyandarkan kepalanya di atas pucuk kepala Aussie, lalu mengangguk kecil. Tanda ia senantiasa siap mendengarkan entah itu satu suku-kata kecil atau serentet pidato.

"Kak Jihan doing SH juga, Na ..."

"Hah, iya?" tanyanya. Hati Rona serasa turut tercubit mendengarnya. Bercampur-aduk antara terkejut dan segala jenis emosi lainnya. Rona langsung jelas mengerti apa yang Aussie rasakan.

Ia bisa merasakan gestur Aussie mengangguk. "Dia nggak bisa handle perasaannya. Lillac sakit, Kak Jingga kabur, Ayah sama Bunda kalut, dan dia akhirnya putus sama Om Aksa. Semuanya nyerang dia di waktu yang sama. Dan, ya, akhirnya Kak Jihan ngelakuin itu demi ngelegain dirinya sendiri."

Napas keluar menghempas.

"Ternyata gini rasanya," ujarnya selirih bisik. "Aku lebih mending dia sayat tangan aku daripada tangannya sendiri, Na."

"Au, jangan gitu."

Tanpa mereka sadari, dari balik ruangan itu, seorang sosok menangkap suara-suara dengan begitu jelasnya.

"Dia sendiri dulu yang bilang kayak gitu ke aku," sanggah Aussie tak suka. "Aku berasa dikhianatin, tau, nggak?"

"Harusnya dia datang langsung ke aku. Aku masih ada. Aku masih hidup. Aku masih adiknya. Kenapa dia nggak datang dari awal ke aku? Mungkin kalau aku nggak nemuin dia waktu itu, dia nggak bakal cerita ke siapa-siapa dan aku nggak akan pernah tau. Dia bakal hancur sendirian dan nggak ada yang sadar. Aku sesayang itu sama Kak Jihan, Na. Tapi kenapa dia nggak bisa sayang sama dirinya sendiri?"

"Aku marah, tahu, Na? Dulu dia susah-susah bikin aku berhenti ngelukain diri sendiri, sekarang malah dia yang kayak gitu. Dia bilang dia yang sakit ngelihat aku sampai sehancur itu, ini apa dia nggak mikir juga gimana perasaan aku?" katanya, menggigit bibirnya sendiri merutuki hal yang seharusnya tak ia katakan, meski ia jujur ingin perasaannya turut diperhatikan.

"Kak Jihan nggak salah apa-apa ..." lirihnya kala meluruh. Rona akhirnya mendekap Aussie. Mengusap-usap surainya kala gadisnya itu mulai luruh pada tangis. Rona kemudian menarik napasnya dalam-dalam, berkali-kali, pelan-pelan. Hingga Aussie berangsur-angsur mengendalikan tangisnya. Itu adalah trik kecil miliknya untuk menenangkan Aussie tiap serangan paniknya kambuh.

"Aku seneng kamu udah mulai terbuka dan nerima perasaan kamu ke Kak Jihan. Kamu deketnya sama Kak Jingga, soalnya, kan?" kata Rona pelan, masih seraya membelai-belai kepala Aussie.

Aussie menghela napas. "Iya, sejak Kak Jihan ngebantu aku berhenti and when I'm finally clean, aku malah jarakin diri antara kami, karena aku ngerasa nggak enak. Jadi canggung dan ngehindarin satu sama lain. Aku nggak tahu kenapa, it's like it is just what it is," keluhnya.

"Iya. Makanya aku lumayan seneng lihat kalian pelan-pelan bonding lagi. Dengan kamu yang konfrontasi ke Kak Jihan dan Kak Jihan yang bisa terbuka sama kamu, semuanya udah hampir baik-baik aja, Au."

Kecup ringan mendarat di ubun-ubun Aussie, membuatnya mendongak. Mata sejuk Rona menyambutnya, menghujaninya dengan rasa disayang.

"Kak Jihan akan baik-baik aja. Kamu juga akan baik-baik aja." Tanpa dikiranya, sekelebat cium menyapa bibir dan bibir. Seketika, Aussie lupa masalahnya. Jejak basahnya seakan bisa menguap saking panasnya pipinya.

"Ada aku," tambah Rona polos. Senyum menangnya terpatri mendapati wajah Aussie sekarang sudah menjelma lobster masak.

"Kurang ajar," cebik Aussie, menjedutkan kepalanya pada dada Rona sampai bunyi Dug! keras tanpa sengaja. Senyum Rona jelas menyirna, berpindah pada bibir Aussie. Tapi kemudian terbit lagi melihat air muka gadisnya sudah kembali terang.

"Dah-dah, jangan sedih lagi." Rona melepas pelukan mereka, mengacak-acak pucuk rambut Aussie. "Nanti kriuk rambut lo."

"Bacot. Suka juga lo blondé."

Rona membelalak. "Pantes di-keep lama banget." Senyumnya terlukis dengan bangga, ia mengacak-acak rambut gadisnya.

"Tapi hati-hati, kasihan rambutnya, ya?"

Aussie mengangkat bahunya singkat. Ia menyugar ujung rambutnya. Kemudian ia menyengir girang. "Kata rambut aku, mereka janji bakal kuat kalo kamu nggak akan pernah ninggalin aku."

ini hrusnya kalo part rona aussie hrus dikasih warning dulu bcs YAALLAAAAHHHH ALLAHUMMA SHOLLI ALA SAYYIDINA MUHAMMAD WA 'ALA ALIHI SAYYIDINA MUHAMMAD YAALLAH YANG KAYA RONA YAALLAHbtw aussie ashley is that typa girl yg sedih dikit cat rambut 😅😅...

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

ini hrusnya kalo part rona aussie hrus dikasih warning dulu bcs YAALLAAAAHHHH ALLAHUMMA SHOLLI ALA SAYYIDINA MUHAMMAD WA 'ALA ALIHI SAYYIDINA MUHAMMAD YAALLAH YANG KAYA RONA YAALLAH
btw aussie ashley is that typa girl yg sedih dikit cat rambut 😅😅😅😅 sp yg kembar ☝🏻☝🏻☝🏻 (bkn sy 😜😜)

krayon patah. [tercekal sementara]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang