39. Bintang Yang Kalah Terang

985 93 71
                                    

"Jingga nggak ada,"

Dengan suaranya yang kalut, Ardhito masuk ke ruangan Lillac tempat semua orang berada.

"Maksudnya?" Raina berdiri, menghampiri sang suami yang acak-acakan.

"Jingga nggak ada. Jingga hilang,"

"Hah?"

"Ayah, coba tenang dulu. Jelasin pelan-pelan. Kak Jingga di rumah Kak Hira, kanㅡ?"

Membungkam Lillac, Ardhito menyodorkan ponselnya.

Sahira Teman Jingga
om, maaf ganggu
tapi jingga udah pulang belum, ya?
saya bangun-bangun pagi-pagi, jingga nggak ada. saya nggak bisa hubungin dia.
maaf, om, tapi tolong konfirmasinya kalau-kalau ternyata jingga emang udah pulang duluan.. mau saya tanya nomornya dinonaktifkan, kayanya. tolong ya om..

"Tapi Jingga nggak ada  ...," Ardhito menjelaskan, masih dengan suaranya yang serba tersengal, "Ayah ke rumah Sahira, dan emang Jingga nggak ada. Ayah udah coba telponin dia dari tadi pagi, tapi nggak satu pun panggilannya tersambung. Ayah juga udah ke rumah, tapi kosong. Nggak ada tanda-tanda Jingga. Ayah udah spam pesan tapi sampai sekarang belum masuk, semuanya masih centang satu ...,"

"Ayah udah ke sekolah Jingga juga. Kata gurunya, Jingga nggak ke sekolah sama sekali. Ayah tanyain temen-temennya, mereka juga nggak ngeliat Jingga. Nanti siang Ayah mau ke kantor polisi, sama Bunda. Jadi Jihan tolong nggak ke kantor dulu hari ini. Ayah minta tolong jagain adik-adik kamu, ngerti?"

"Iya ...," balas Jihan, mengulum bibirnya tipis.

"Good. Thankyou," sahut Ardhito. Seraya dengan kilatㅡmengusap sudut matanya.

;

Jingga kalah.

Terus saja. Kalimat singkat itu menggaung di telinganya setiap sekon, mengingatkannya atas kekalahan telak pada pertandingan pekan lalu.

Entah dari apa dan mana ia kabur, tapi jauh. Ia sudah pastikan tidak ada yang tahu ia di mana. Pagi-pagi buta ia pulang ke rumahnya dari rumah Sahira, mengemas beberapa setelan baju, mencuri tabungan ayah bundanya di lemari mereka, kemudian kabur memesan tiket kereta keluar kota yang paling cepat berangkat. Kemudian setelah ia sampai, ia pesan lagiㅡkereta keluar kota yang paling cepat berangkatㅡdi stasiun kota itu.

Kini hampir larut malam, Jingga terdampar sendiri di kursi kereta dekat jendela, tengah berusaha memadamkan suara pikirannya untuk mencoba tidur. Ia memeriksa ponselnya yang belum juga ia nyalakan datanya, demi benar-benar kabur dari semua orang. Dan sekarang ia ... entah mau ke mana.

Ia kalah.

"Huft....." Jingga mengembuskan napas panjang. Ia melempar pandangannya pada sekerlip bintang di luar jendela kereta. Bersinar begitu indahnya, membuat hatinya yang kalang-kabut jadi sedikit lebih tenang.

Ia bersinar, selayaknya Jingga sebelum kalah. Sebelum di langit ada binar lainnya. Sebelum ada bulan yang lebih bercahaya lalu dengan seenak jidat memadamkan miliknya.

Setelah bulan kembali dari gemulan awan, bintang yang menangkap matanya kini entah hilang ke mana. Mungkin sajakah bergerak menjauh dari jangkauan matanya? Atau hanya diam di tempatnya tetapi sudah hilang cahayanya saja?

Sekian banyak orang yang duduk di pinggir kanan kereta, mereka yang melihat bintang pasti terdistraksi bulan. Begitupula ia. Lantas berubah fokus kepada indurasmi cantik nan menggantung di awan-awan kelam. Bintang yang tadi sudah dilupakan.

krayon patah. [tercekal sementara]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang