"Aussieeee." Suara Bunda yang melengking menyerang tiap sudut rumah, hingga terbang ke lantai dua. Dari jauh pun, rungu Aussie dengar jelas.
"Kenapa, Bunda?" jawabnya, berdiri di ujung tangga.
"Bunda mau minta tolong. Boleh?" tanya Bunda. Aussie mengangguk saja, lalu menyandarkan lengan pada pegangan tangga, mendengarkan.
"Jemput Eyang Putri di stasiun."
"HAH?" Hampir ia jatuh dari tangga untuk yang kedua kalinya pekan ini saking terkejutnya. "STASIUN?"
"Iya, ini tau-tau Eyang telepon Bunda, minta dijemput. Bunda bingung, kok, Eyang ke Jakarta enggak ngabarin dulu. Duh," timpal Bunda, "Aussie mau jemput, kan, Nak? Enggak enak kalau di jalan pulang, Eyang cuma berdua sama Pak Tama, kan?"
Aussie diam sebentar. Mencerna pinta Bunda seraya mengumpulkan niat untuk melawan kemageran yang hakiki.
"Atau kakinya masih sakitㅡ?"
"Eh, enggak, Bun. Aussie ganti celana terus ambil kunci mobil dulu, ya," potong Aussie, lantas segera hilang dari pandangan. Ia paling benci kalau Bunda membatalkan minta tolongnya.
Aussie sudah siap dengan celana kulotnya serta kaus lengan panjang yang kebesaran. Simpel, nyaman, tapi sopan; begitu pedomannya tiap berpakaian. Ponsel, dompet kecil, serta kunci mobil juga sudah di tangan. Seraya menguncir rambut pirang panjangnya tinggi-tinggi, Aussie sudah siap berangkat.
"Aussie."
Suara Bunda menghentikan geriknya. Ia menoleh. "Kenapa?"
"Sekalian jemput Lillac, ya?"
;
"Sampai."
Aussie cepat-cepat turun dari mobil, masih dengan wajahnya yang kusut karena Lillac tak mau duduk di kursi samping kursi pengemudi dan masih pula mengomentari bau apek serta berantakannya mobil Aussie. Awalnya masih bisa ditoleransi, tapi lama-lama ia kesal juga. Alhasil, Aussie jadi ngambek.
"Alhamdulillah, YaAllah," keluh Lillac samar. Terbatuk beberapa kali. Benar, ia sedikit-sedikit menahan napas sementara di mobil Aussie. Kentara dari batuknyaㅡyang sebenarnya batuk asli, tapi seperti dibuat-buatㅡitu, Lillac masih mencari perhatian kembarannya.
"Cepetan cari Eyang, sana. Bacot banget dari tadi," ketus Aussie seraya memalingkan pandangannya. Melirik ke ponsel, juga guna mencari nama 'Eyang Putri' di daftar kontak untuk diteleponnya.
Lillac berjinjit-jinjit, dari kejauhan mencari pucuk kepala Eyang di balik banyaknya lalu-lalang insan beratma. Beberapa detik, ia lalu menoleh lagi. "Enggak nemu, Au,"
"Ya, ke sana, cintakuuuu. Iyelah kagak keliatan dari sini,"
"Cih, okay. Mau ikut?"
Aussie diam sejemang. Menatap Lillac yang masih menunggu, seraya memberinya tatapan ragu.
"Nggak ramai amat, kok. Nanti gue pegang tangan lo kenceng-kenceng biar ... you know, biar lo nggakㅡ,"
Aussie menggeleng. "Can we not? Aku sambil telepon aja Eyang di sini. Lagian Lux juga lagi rada berulah jadi mesinnya mau gue nyalain," Aussie menolak, keras.
"Nggak terlalu ramai, kokㅡ,"
"Udah. Gua gabisa. Remember last timeㅡ?" Ia membungkam Lillac, "Udah, sana-sana, ih! Nanti Eyang bingung!"
"Gosh, fineee. Di sini aja, ya, lo,"
Aussie tersenyum simpul, mengangguk, lalu memalingkan tubuhnya. Tak ingin lagi menggubris Lillac. Oh, ya, Lux sendiri adalah nama mobil Aussie.
KAMU SEDANG MEMBACA
krayon patah. [tercekal sementara]
Fanfiction❝Tentang krayon yang patah. yang masih bisa mewarnai. Tentang jiwa yang sepah. yang masih bisa mencintai.❞ 2O21 ; ©STARAAAAA-