Suasana sedang menghening. Jihan dengan pekerjaannya di laptopnya, Jingga membaca satu buku, dan Aussie menggambar sketsa. Lillac hanya ditemani bunyi dentit alat elektronik di sebelahnya, memandangi jarum infus di tangannya.
Operasinya sudah selesai sejak kemarin. Semuanya berjalan lancar. Ia sudah kembali dari ruang ICU. Beberapa pekan kemudian, ia juga sudah bisa keluar dari rumah sakit bau ini.
Oh, dan ia masih ingin tertawa mendengar cerita Aussie tentang kecanggungan itu.
"Kak Jing, itu buku apa? Liat, dong,"
Jingga hanya menatap Lillac sekilas, kemudian kembali memusatkan perhatiannya pada novel itu lagi. "What So Wrong About Your Self-Healing, bukunya Ardhi Muhammad. Kemarin baru Pre-Order," jawabnya.
"Oh, iya. Kakak baru kemarin pesen, tapi belum dateng," Jihan menyahut, "Tapi Kakak kemarin pesenin Lillac juga, sih. Jadi nanti punya kita datengnya barengan, Lil,"
"Asyik! Makasih, Kak. Aku jujur enggak ngerti gimana cara pakai toko hijau," sahut Lillac, "Kamu, Au?"
"Aku belum ada niat beli, sih. Yang Insecurity Is My Middle Name belum selesai dibaca juga gara-gara kecelakaan kemaren. Jadi kapan-kapan aja," sahut Aussie.
"Eh, Kakak malah belum baca yang itu," timpal Jihan, mengabaikan pekerjannya dengan laptopnya yang masih terbuka. "Buku terakhirnya Alvi Syahrin, kan? Iya, ih, belum kebaca. Kalau enggak salah waktu itu beli pas di Bogor," tambahnya.
"Yang itu must-read, sih, Kak. Aku bacanya habis seminggu doang. Terus langsung banjir. Dan itu buku emang ngebantu banget, sama kayak tiga serinya yang lain," Jingga turut memberi sugesti.
"Serinya aku paling suka yang Jika Kita Tak Pernah Baik-Baik Saja," timpal Aussie, kini menyimpan buku gambarnya, "Semua halamannya kayak relate banget,"
"Ah, tos, Au," ajak Lillac, "Bab 7 apalagi,"
"Kalo aku yang Jika Kita Tak Pernah Jadi Apa-Apa, sih. Apalagi pas dulu, masa-masa kelas 8 yang aku bolak-balik nilai anjlok. Baca itu berasa nemuin obat ajaib," Jingga juga menyahut, ia pun menyimpan buku bersampul hitam tersebut di pangkuannya.
Kini semua mata tertuju pada Jihan. Mereka tersenyum mencurigakan, kemudian meledaklah tawa setelah Jihan menjawab; "Jika Kita Tak Pernah Jatuh Cinta jelas punyaku ...,"
"HAHAHAHAHAHA, masa-masa dulu Kak Jihan putus sama Kak Kevin, enggak, sih? Buku itu dibawa ke mana-mana," seru Lillac seraya tertawa besar.
"Kak Kevin yang Buddha itu, kan?"
"Iyㅡeh? Bukan, Au. Beda, kayaknya. Kalo yang Buddha, tuh, yang ketemu pas Kak Jihan nyasar di kebun binatang itu, lho. Bang Cakra. Ck, padahal dia baik, kan, ya. Pacarannya hampir 4 tahun juga," sahut Lillac, kini matanya memberikan sorot prihatin.
"Baik apanya, sih? Dia suka nyolong Alfamart, tau. Kalo kencan kagak pernah bayar. Kak Jihan mulu yang bayar, sampe motor dia aja Kak Jihan yang nyicil," Jingga juga ikut-ikut menjawab. Wajah julidnya yang khas memanas-manasi amarah dua saudaranya yang lain.
"Bukannya itu yang satu lagi? Siapa, tuh, yang alisnya pirang? Yang mukanya kayak bapak-bapak bule? Yang kalo ngomong kayak orang ngantuk terus enggak bisa ngomong S itu, lho. Si Santun-Santun itu, lho," timpal Lillac, "lupa nama,"
"EH IYA, KAK SULTANNN?"
"OH IYA, KAK SULTAN. Nyebelin banget dia, asli. Gayanya yang digedein. Nama doang Sultan, tapi dikit-dikit minta duit ke Kak Jihan," Jingga ikut menimpali.
"Kak Kevin doang, enggak, sih, yang masa pacarannya baik-baik? Sama Kak Cakra," timpal Aussie, "Dulu Lillac sama aku sering dibawa pake mobil bak bapaknya Kak Kevin. Kalo sama Kak Cakra, sering diajak makan es krim abis nemenin dia ke Vihara,"
KAMU SEDANG MEMBACA
krayon patah. [tercekal sementara]
Fanfiction❝Tentang krayon yang patah. yang masih bisa mewarnai. Tentang jiwa yang sepah. yang masih bisa mencintai.❞ 2O21 ; ©STARAAAAA-