36. Pluto Dan Matahari

904 121 96
                                    

Ia pikir akan berhenti bermonolog setelah pukul sepuluh. Tapi entah sudah pukul berapa ini, Lillac tak selesai juga. Kantuknya hilang, malah matanya sekarang segar.

Ia melirik jam. Pukul dua pagi. Pantas napasnya mulai tersendat lendir di dalam hidungnya, sebab ini tentu sudah jauh melewati jam tidurnya.

Ia akhirnya duduk. Bantalnya yang bertumpuk jadi tempat punggungnya bersandar. Ia menilik sekelilingnya. Ayah di sofa panjang, bersedekap dada dalam tidurnya. Ibu yang ternyenyak sembari memeluk Jihan layaknya guling, di kasur tipis dekat koper. Sementara Jingga lelap sambil duduk di sofa kacang.

Tidak ada Aussie. Ia di kamarnya. Sendirian. Barangkali juga belum niat tidur, atau malah sudah larut sejak pukul tujuh.

Ramai sekali, ya, di sini ...

Di ruang Aussie, suasananya seperti apa, ya?

Walau kadang Lillac terdistraksi oleh bunyi dengkur Ayah, atau grasak-grusuk Jingga, atau Jihan yang sedikit-sedikit mendesah sebab tak leluasa tidurnya, lalu Bunda yang bolak-balik bangun mengawasnyaㅡatau sekadar membenarkan selimutnya hingga ia harus pura-pura tidurㅡtapi Lillac senang. Rasanya seperti menjadi sebuah bintang besar dan seisi galaksi mengitarinya dengan senang hati.

Dan kalau tata surya seperti semestinya, maka Aussie adalah jelma sebuah pluto. Mengitari dengan setia walau dari kejauhan. Sembari berharap ia juga seterang sang bintang, sebesar sang matahari. Berandai ia yang dikelilingi semua orang walau jauh dari pusat tata surya. Atau setidaknya bisa terlihat dari bumi untuk bisa dianggap ada.

Bayangan Aussie melintas sekelebat, bak sorot lampu jalan dari kaca mobil kala hujan. Suaranya yang marah, tatapannya yang menyembilu, serta setiap perkataannya yang penuh penekanan menyakitkan.

Ia menyita waktu Aussie dan Jihan, seakan mereka tak boleh bercengkrama terlalu lama. Padahal, waktu juga bukan punyanya.

Kenapa harus ia melakukannya? Apa karena ia tidak suka mereka mengobrol terlalu banyak? Harusnya bukan, sebab alasannya tak akan berdasar.

"Jadi apa? Takut?"

Ia tertegun.

Kenapa takut?

Apa yang ia takutkan?

"Kamu takut kalau aku akrab sama Kak Jihan?"

Iyakah?

Tapi mereka juga saudara, kan? Keempatnya saudara, tapi kenapa Lillac cemas?

Ini terdengar tidak masuk akal, tapi juga masuk akal. Sebab lantas apa lagi yang sevalidnya ia rasakan dari pada ini?

Iya, Lillac takut Aussie dan Jihan akrab.

"Kamu takut nggak punya tempat? Kan?"

Iya. Ini alasan paling berdasar baginya.

Ia menyebalkan, berisik, manja, dan sakit-sakitan. Ia tak punya bakat, tak punya tujuan hidup, tak punya banyak kesempatan, tak pernah memilih setiap opsi dalam hidupnya. Ia tak sebebas kakak-kakaknya. Tak akan pernah.

Lillac selalu mengidolakan Aussie. Ia seperti kalingga, ia bebas berkepak seakan seisi langit adalah milik sayapnya. Ia boleh ke mana saja, seakan tak punya pantangan.

"Orang-orang nemenin lo karena lo istimewa. Karena lo spesial. Karena lo ... sakit,"

Aussie tidak pernah mengucapkan sepatah kata pun hal yang ia tidak bisa setuju.

Ia setuju. Aussie juga tahu ia tahu itu benar.

"Pusat dunia bukan lo."

Ia tahu.

krayon patah. [tercekal sementara]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang