Hal pertama yang Jingga otomatis sadari adalah; semua mata teman Raka langsung terkunci pada mereka berdua. Keempat lelaki itu bertukar tawa, menyambut Raka dan Jingga yang baru keluar pintu.
"Lesu pisan, neh. Pasti capek, nyak, semalam, Ka?"
Raka mengernyit. Tapi sedetik kemudian, ia terkekeh. "Iya, cuy. Jam sebelasan baru selesai packing-"
"Aih, masih polos aja, anying. Kirain ke Jakarta jadi mayan maen, taunya masih polos, jir." Jojo, salah satu dari mereka, menjawab.
Raka mengerjap. "Hah?"
"Semalem dapet berapa ronde, sih? Jadi lemot gini pas mau otewe."
"Dua jam doang, mah, dapet dikit gak, sih? Gatau, sih, kalo sama cewek yang ... taulah ... besar."
"Wah, enak, nih, Raka. Apalagi si cewek nginep udah hampir semingguan, puas-puasin lah, ya, gak?"
"Alah, ntar di Jakarta juga bareng lagi. Dapet lagi, deh, jatah."
"Inget, loh, Ngab. Haramm."
"Bacoot, sia juga sering, kali."
Kemudian, tawa menguar. Kepala Jingga benar-benar penuh. Namun keberaniannya seakan menghirap begitu saja sampai mulutnya bungkam, bentuk ketidaksukaannya hanya bisa ia tunjukkan lewat alisnya yang mengerut.
Mana Rakanya polos banget. Tolol.
"Jinggaa, sini!"
Suara Marini yang cempreng nyaring terdengar seperti nyanyian malaikat, menjadikannya kesempatan untuk ia bisa kabur dari cowok-cowok bau itu.
"Hai, Mar, gimana? Udah siap semuanya?" tanyanya, memaksa menimbrung Marini dan Ayalia.
"Udah. Hayuklah, gas!" Marini berteriak pada kumpulan laki-laki itu. Mereka mengangguk, sekilas tampak seperti 'orang betul', tapi detik ini pula Jingga ilfeel habis-habisan.
"Wait, ini kita gajadi pakai mobil, atau, gimana?" Langkah Jingga berhenti, mendapati hanya ada motor-motor di depan gerbang rumah Raka.
"Kakak nggak baca gc, emangnya?" Raka menyahut.
Jingga cepat-cepat mengecek ponselnya, benar saja, pagi tadi mendadak Faris mengabarkan kalau mobilnya tak jadi bisa dipakai. Ia menggigit bibirnya, kemudian menggeleng. "Waduh, sweater aku di dalem, lagi."
"Ya udah, pakai jaket kulit aku aja, Kak. Aku yang ke dalam ambil jaketku yang lain. Kamu udah iket tali sepatu, soalnya. Kan, effort, tuh," jawab Raka sembari tertawa, mengejek Jingga yang tak bisa menyimpul tali sepatu. Ia menyodorkan jaket kulitnya pada Jingga. "Apa boleh kupakein sekalian?"
"Gausah." Jingga menggeleng, menyambar jaket tersebut tanpa menatap Raka sama sekali. Sebab dari sudut matanya pun dia tahu sekali kalau senyum-senyum aneh dari teman Raka dilontar satu sama lain. "Aku bisa pake sendiri. Udah sana."
"Ya udah, ini kita atur aja dulu duduknya gimana," celetuk Marini.
"Saya mau sama Mas Raka, bisa, nda, A?" sahut Ayalia, mengangkat tangannya rendah.
"Gabisa, dong, Dek. Kan abangmu nteu bisa bawa rotom. Kamu paling sama A'a," jawab Faris. Hati Jingga seakan diremas.
"Nah, kamu goncengan aku, Jingga!" Marini menyahut, menepuk jok belakang motornya.
"Oh, alhamdulillah. Kamu yang bawa, Mar?"
"Hooh, keren, gak?" Ia menyengir.
"Iya, iya, keren. Kamu sama Ayalia, ya."
KAMU SEDANG MEMBACA
krayon patah. [tercekal sementara]
Fanfiction❝Tentang krayon yang patah. yang masih bisa mewarnai. Tentang jiwa yang sepah. yang masih bisa mencintai.❞ 2O21 ; ©STARAAAAA-