54. Someone To Tell Her It'll Be Okay

259 38 9
                                    

Di air matanya yang menetes di atas punggung tangan Raka, Ayalia melihat sedikit bekas dari hatinya. Jika bisa, ia hancurkan saja segenap Stasiun Bandung supaya kereta yang menjemput cintanya pergi ini bisa datang lain waktu dan ia punya sedikit saja waktu lebih bersama kakaknya. Tapi keretanya sudah sampai di depan mata, dia beku tak berkuasa.

"Yaya." Raka berbisik. Genggaman adik kecilnya erat seakan ia sebuah hal paling takut Ayalia kehilangan. Salim mereka tak ia lepas sudah sepuluh detik. "Gapapa, kan, akhir tahun Mas ke Bandung lagi. Kalo ada dispen lomba lagi, Mas juga libur lagi. Atau nggak Yaya yang ke Jakarta." Dia terkekeh.

Ayalia mengangguk. Kepingan hatinya jatuh-jatuh ke lantai. Begitu pun tetes demi tetes kesenduannya setelah melintasi dagunya.

"Yaya." Dia berbisik sekali lagi, terkekeh kecil. Jari Raka bertengger di bahu Ayalia. "Jangan nangis, atuh. Kapan-kapan ketemu lagi," ujarnya, memijat bahunya yang ringkih dan mungil. Ayalia mengangguk lagi. Kata yang dia tahu menghangus, sudah di lidah tertelan lagi. Yang Ayalia mau hanya sehari extra, sehari saja lagi. Dia rela memohon menekuk kaki, tapi kereta itu tak kunjung pergi tanpa abangnya di dalamnya.

"Mas Aka.." Dia tercekat. Tangan kakaknya dia genggam erat dengan kedua telapak tangannya. "Mas Aka.." Ia berbisik lagi. Seakan itu satu-satunya kata yang dia tahu di kamus kepalanya.

"Yaya." Dia tertawa lagi, melirik Jingga, meminta waktu sejenak. "Sini." Dia berbisik, menarik Ayalia ke dalam kurungan lengannya. Seakan magnet, tangan Raka sempurna menangkup belakang kepalanya, membawanya beristirahat di dadanya. Tangannya yang lain melingkar punggung kecilnya. Ayalia magnet satunya, menyentuh kedua sikunya sendiri di belakang punggung Raka. Seakan berharap mampu menghancurkan tubuhnya dengan lengan kecilnya.

"Aduh, Mas nggak bisa napas ini, Yaya. Kegeprek." Suaranya rusak, tercekat hebat. Tertawa kecil. "Kenceng banget, sih, kamu kalo meluk orang." Ia berbisik. Menempelkan pipinya di atas kepala adiknya. Ujung jarinya bergerak lembut, menyisir rambut sebahu adiknya.

"Nggak papa. Nggak papa. Ketemu lagi, kapan-kapan. Kita, kan, saudara." Dia berbisik. Menepuk bahunya yang kecil. "Nanti pas kita ketemu lagi, kamu harus udah gendutan dikit, yaa?"

"Tai." Ayalia merengek, menciwit secuil daging di pinggang kakaknya.

"Aduh!" Raka menjerit, tubuhnya terjolak ke samping. Ia tertawa, senyumnya lebar. Tapi bak magnet, dekapan mereka terhadap satu sama lain tak dengan mudah diikhlaskan. Ayalia masih belum membiarkan kakaknya bernapas lega.

Raka tertegun. Masih sulit mengambil oksigen. "Yayaa, YaAllah." Dia terkekeh sekali lagi. Mengacak-acak rambut adiknya. "Ayo, nanti Mas sama Kak Jingga ketinggalan kereta."

"Mas Aka."

"Iyaa, adekk. Tau," bisiknya, mengecup pucuk kepalanya. "Kali ini kita telponan, chattan banyak-banyak, sampai ketemu lagi. Jangan diem-dieman kayak kemarin lagi. Jangan privasiin Mas dari status Yaya lagi. Mas tontonin hidup Yaya, lindungin Yaya dari jauh, gapapa, ya, oke?" ujarnya sembari menggambar lingkaran memutar tanpa batas dengan ujung jarinya di kepala Ayalia.

"Nggak papa, Yaya. Yaya bakal baik-baik aja. Yaya punya Mas, Yaya chat aja Mas kalo kenapa-kenapa, oke?" bisiknya. "Yaya bakal baik-baik aja, sampe kita ketemu lagi."

Ayalia mendekapnya lebih erat. Sayup mendengar pengumuman kalau keretanya akan pergi lima menit lagi. "Mas Aka.."

"Iyaa. Ayalia." Suaranya seteduh pohon. Hati Ayalia dicakar-cakar pilu. Ayalia masih mau dilindungi. Masih mau jatuh di bahu seseorang yang lahir sebagai pedomannya. Punya masih banyak sekali cerita, keluh pada dunia, yang takdirnya dia simpan di telinga si anak pertama ibunda ayahandanya.

Namun ia melepas pada akhirnya. Mengetahui kereta jahat itu akan memaksa lebih keras kepala, mengembalikan kakaknya pada Jakarta. Raka tersenyum tipis. Berharap semoga bibirnya melukis frasa "semua akan baik-baik saja" dengan sunggingan tipisnya.

"Ayo, Kak." Raka menggotong koper Jingga. Yang berat langkah kakinya. Ia memupuk berani dari malam, memutuskan sudah berhenti lari-larinya. Lalu kembali ke rengkuhan realita. Tapi di detik itu, sebelum kakinya memaju, semua ragu menggeprek hatinya jadi debu.

Ia menghela. Kepingin turun, lari lagi. Ke rumah ayah dan ibu tiri Raka, kamar Ayalia. Rumah yang membuatnya merasa diterima. Yang tak punya ruangan seperti ruangan di rumahnya di lantai empat yang panas sekali dengan kasur tipis dan bantal bau serta banyak sampah rokok sebagai suaka sementara bagi mereka yang pedas bibirnya. Ruang tempat Ayah biasa mengurung diri, tempat Bunda menyimpan bekas puntung rokoknya karena ia kira tidak ada yang mendekati kamar itu lagi(Bunda pernah janji untuk berhenti merokok), tempat Kak Jihan menghabiskan dua malam tiap pekan selama ia remaja, tempat yang untuk pertama kalinya Jingga bermalam di sana hanya karena ia mengaku ia lelah dengan keluarganya, tempat yang tak pernah Aussie masuki karena ia tak pernah melawan kata Ayah, dan tempat yang walau pun Lillac sering keras pada Ayah tapi tidak pernah jadi ancamannya. Jingga takut pulang ke rumah. Ke Ayah.

"Kak?" Raka mengintip. "Ketinggiankah? Tangganya di pintu satu lagi." Dia terkekeh, mengejek pendeknya. Namun senyumnya sirna segala-gala kala melihat setitik banyu melintas pipi Jingga.

"Kak-"

Kaki Jingga melaju sendiri, cepat-cepat mencari bangkunya. Dia tak bisa mundur lagi. Kalau pun seluruh sel di badannya meminta ia untuk tinggal di pelarian selamanya. Pesan panjang dari Bunda dan Kak Jihan mengontrol kakinya. Kelirihan cinta yang meminta Jingga pulang. Kata maaf yang panjang dan janji untuk tidak memberinya alasan untuk pergi lagi. Jingga sudah memaafkan dengan lapang dada, tapi takutnya masih sebesar langit menyelimut dunia.

"Kak, you okay?"

Jingga mendongak pada Raka yang matanya tak lepas dari Ayalia di luar kereta. Ia tahu ia tak bisa membohonginya. "No." Dia berujar lelah. Kereta bergerak pelan demi pelan. Gemuruh di hatinya memaksa membanjir keluar, dan ia diamuk isak. Mata Raka memaku pada Ayalia sebelum ia jauh dari tatapnya, baru beralih memandang Jingga.

"If you want to, I can give you a hug." Suaranya lirih. Jingga ingin menolak, tapi anggukkan lemahnya mengkhianati dirinya sendiri. Senyum Raka tipis menghias wajahnya, ia duduk di samping Jingga, dan dengan sentuhan yang selembut sutra, ia membawa Jingga ke dekapannya.

"It's gonna be okay." Ia berbisik pada pucuk kepalanya. Ujung jemari Raka berakting seakan pensil, mencoret main-main keabstrakan di kulit kepalanya. "You haven't sleep."

"Gua gabisa." Ia berbisik miris. Matanya terpejam. Jingga melemahkan tubuhnya, menjadi akses untuk Raka mengeratkan pelukannya.

"Tidur sekarang aja." Ia menjawab.

"Tapi—"

"It's gonna be okay."

Matanya membuka. Air matanya meleleh tak terkira. Kepalanya mundur sedikit, mata Jingga memohon penuh doa. "Tell me," Ia berbisik, "how are you so sure?"

Raka menatap Jingga balik. Merah muda lembut menyerang wajahnya. Ia tersenyum tipis. Ditangkupkannya kembali belakang kepala Jingga, bersarang di dadanya. "Because everytime you want to, I can give you a hug."

kapel selucu ini klian egk jatuh cingta?!?! (AKU AJA KUALAT BJIRRR AKU AWALNYA RAKALIL BYE 🐷🐷💀💀💀💀)

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

kapel selucu ini klian egk jatuh cingta?!?! (AKU AJA KUALAT BJIRRR AKU AWALNYA RAKALIL BYE 🐷🐷💀💀💀💀)

krayon patah. [tercekal sementara]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang