42. Punggung

426 74 82
                                    

"Aaa, Tuhan." Jihan mendudukkan bokongnya di atas sofa rumah. Bersandar, kemudian merosotkan bahunya. Ia melihat sekeliling. Sepi ditengoknya.

Matanya lantas mengerling pada ponselnya. Jingga tak bisa dihubungi, tentu saja. Ia menghela napas panjang, membawa resah dan lelah. Setidaknya, sekarang sudah di rumah.

Dan Jihan sudah tak kuat sabar untuk cepat-cepat pergi lagi.

Asing betul ia rasa. Seperti habis pulang dari mengembara. Kamar Lillac dan Aussie sama-sama tertutup rapat. Mereka bahkan kemarin mesti dijemput dua mobil berbeda karena perseteruan besar itu.

Semuanya lelah. Jihan lihat dari spion kala menyetir. Lillac tertidur di mobil. Bersandar Bunda. Tak berani bersandar Ayah. Ia sibuk pada koneksinya demi menjemput Jingga pulang.

Setidaknya Aussie dijemput Rona. Mobil mereka tepat di belakang mobil Jihan. Pada lampu merah, mereka ke kanan alih-alih lurus.

[Diculik :P]

Notif dari Aussie muncul sedetik setelahnya. Aussie pulang sorenya, diantar Ashley dan Rona sampai masuk kamar. Mereka masih belum selesai melepas rindu, sampai Ashley dan Rona pulang mengantar habis petang. Mereka seperti keluarga yang lebih lekat bagi Aussie. 

Kembali pada masa sekarang. Bunda tiba-tiba duduk di hadapan Jihan, mengacau tidurnya yang hampir lelap sempurna.

"Bun," sapanya seraya mengusap mata. Sedetik kemudian, ia tertegun.

Wajah ibundanya ... sungguh sebuah sesuatu.

"Oh my God. You look ... awful, Bun."

Hanya Jihan yang berani.

Bunda mengangguk dengan lesu. Helaan napas Bunda melolos dengan lamat sampai teramat terasa beratnya. Tubuh Jihan menegak, memasang telinga.

"Nggak ada yang Bunda butuhin selain Jingga ada di sini sekarang," bisik Bunda terlampau lirih. Seperti pita suaranya ialah senar rapuh yang dipetik sedikit langsung bersuara nanar.

"Tapi pas dia di sini, Bunda bodo amatin dia belajar sampai lupa makan." Jihan angkat bahu. Membungkam Bunda. Kuulangi, hanya Jihan yang berani.

"Ayah juga." Suaranya tiba-tiba membesar kala melihat sekelebat sosok melintasi ruang tamu. "Pas Jingga di sini, disalah-salahin nggak jelas! Pas kabur, sekecamatan diribetin buat ketemu si pelitakuuu tersayangggg!"

Ayah tidak menghiraukannya, tapi Jihan bisa benar-benar pastikan sang ayah dengar ia jelas dari punggungnya yang tiba-tiba menegak secara samar.

"Aku yakin Jingga aman. Toh, aku percaya Aussie mantau. Daripada sibuk nyari Jingga, mending cari apa aja rusaknya dinding rumah ini. Biar kalau dia pulang nanti, rumahnya udah siap jadi rumah beneran." Jihan bangkit dari sofa. Meninggalkan Bunda yang tak jadi berkeluh kesah.

"Auk, ah. Kamar," pamitnya. "Lama banget nggak ke kamar. Kamar tempat Ayah nanyain adik-adikku tiap malam pas pulang kerja, hehe. Aduhhh, untung aku digituin nggak nyampe kabur, yaaa."

"Ya udahlah, pokoknya gitu. Jangan sampai rusak semua, Jihan tau banyak semua dipegang dalam sewaktu sama kalian. Dia makin dikejar makin jauh. Kita tunggu aja Jingga pulang sendiri."

Di tangga ia berhenti. "Karena aku yakin dia pulang."

"Dan aku yakin dia habis chattan sama Aussie!" serunya saat melintas pintu Aussie sebelum ia melengos pergi.

Di balik pintu putih polos, ada yang mendengkuskan senyum miringnya. Memutar bola matanya. Mengambil kembali ponselnya yang barusan ia taruh di atas nakas.

You
bitchhhhhhhhh she knowssss

Kabur
Wkwk, and i know she knows :P

krayon patah. [tercekal sementara]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang