Rona mendengar saksama curhatan Aussie, perihal ia dan keluarganya yang saling diam. Dan lelaki itu tentu ada, memasang kuping sebaik-baiknya.
"Aku bingung, masalah sepele bisa jadi gede. Bahkan bawa-bawa Yara lagi. Gatau diri. Dia gatau aja, kalo waktu itu aku ga ke sekolah, dia udah mati," kesal Aussie. Sebab ia paling benci orang tak tahu terima kasih.
Rona hanya mengusap-usap bahu Aussie, mencoba menghangatkan gadisnya yang mengeras. Ia berhasil, amarah itu reda.
Namun sedetik kemudian, Aussie meluruh. Sebab satu bongkahan rasa memberontak dalam diri.
Aussie menunduk, "Tapi Bunda ...,"
Bayangan ibundanya terus menghantuinya di saat terakhir ia akan meninggalkan ruangan Lillac. Pandangan-pandangan mengernyit mereka menusuk Aussie hingga ke relung. Ia merasa tidak ada lagi yang benar-benar di sisinya, semua membela Lillac.
Aussie begitu mengidolakan ibunya, sejak ia membelanya mati-matian di hadapan ayahnya yang bersikeras memasukkan Aussie ke jurusan yang tidak diinginnya. Berkat Bunda, ia bisa berada di jurusan bahasa.
Tapi Aussie sekarang sadar, mungkin saat itu Bunda membelanya karena ia tak mau ambil pusing. Tak mau ribut, tak mau ribet. Ah, ya, Aussie harusnya sadar lebih awal.
Aussie jadi mengerti; kenapa ia boleh-boleh saja mewarnai rambutnya, kenapa ia boleh-boleh saja mengecat kamarnya dengan corak seacak mungkin, kenapa ia boleh-boleh saja belajar hanya satu jam sebelum ujianㅡkarena mereka tidak peduli.
Sejak kecil, Aussie sudah 'kehilangan' keluarganya. Tujuh bulan setelah ia lahir, pusat semua orang berganti. Bukan dia lagi, tapi Lillac. Karena gadis istimewa itu sakit sejak lahirnya.
Saat itu, pertama kali ia belajar jalan, tapi dengan babysitter-nya dan bukan orang tuanya karena semua orang sibuk dengan Lillac yang bolak-balik di NICU.
Saat itu, ia baru masuk taman kanak-kanak, tapi ia daftar bersama Eyang karena semua orang sibuk dengan operasi pertama Lillac.
Saat itu, ia pertama kali mengikuti ajang unjuk bakat, yang bahkan orang tuanya tidak tahu-menahu karena kala itu Lillac baru masuk sekolah dasar dan semua orang sibuk.
Begitu siklusnya sampai hari ini, detik ini. Sekelilingnya hanya hampa, hanya orang-orang asing. Tidak seperti saudara kecilnya yang bak bintang besar dan dikelilingi satu galaksi. Ia bahkan lupa bagaimana rasanya, menjadi pusat dari segala. Terakhir, saat ia umur 5 bulan, ya?
Tak perlu prihatin, siapa saja. Karena keadaan memang selalu seperti ini. Bahkan saat Aussie tak tahu apa yang salah. Karena mereka makan makanan yang sama, lahir dari rahim yang sama, dan menghirup udara yang sama. Tak bisakah, perhatian itu dibagi sama rata; empat? Bukan hanya satu.
Kini Aussie meluruh, menyembunyikan sedunya di balik bahu Rona. "Na, aku kangen banget diperhatiin mereka," lirihnya sendu.
"Aku sedih, tauu? Kenapa aku ga bisa dapetin apa yang Lillac dapet? Aku mau juga ...,"
Rona menghela napas, membantu Aussie melegakan letihnya. Ia mengusap-usap rambut pirang Aussie yang panjang, menaruh dagunya di atas ubun-ubun gadisnya selama ia leluasa terisak di rengkuhannya.
Rona merangkul Aussie layaknya seekor ibu beruang mendekap bayinya. Gadisnya ini jadi tampak mungil di pelukannya. Apalagi, Aussie tengah meringkuk dengan bibir yang melengkung sendu. Pipinya yang gembung membuat Rona ingin menggigitnya sampai merah.
Lucunya, gadisnya.
"Aku mau sama kamu aja, ah. Cuma kamu yang baik sama aku," rengut Aussie lirih, "Kalo kaki aku udah sembuh, kita ke mana, yuk, Na? Yang jauh, enggak ada orang-orang yang kita kenalㅡkalau perlu nggak perlu ada orang lain,"
Menanggapinya, Rona terkekeh lembut. Mengusap kembali rambut Aussie sampai ke ujung, kemudian ia mengikatnya rendah dengan lingkaran yang dibuat jempol dan telunjuknyaㅡsekadar mengurangi gerah karena peka atas leher Aussie yang lembap.
"Ya udaah, ayo? Kamu mau ke mana, hm?"
Aussie mengulum bibir, "Ke ... Aussie?"
"Kuliah seni ... bareng ...," tambahnya, suaranya alun.
"Siip," sahut Rona, "terus pulang dari sana, kita nikahㅡheheheㅡaduh," Celetukan Rona yang asal dapat hadiah cubitan di perut oleh Aussie. Tidak brutal amat karenaㅡyah, sulit mengambil sebuah cubit di 'perut' Rona karena ototnyaㅡtapi sukses membuatnya meringis kecil atas nyeri yang tertinggal. Pacar Rona ini psikopat, sebenarnya.
"Apaan nikah-nikah, kamu, tuh. Masih kecil,"
"Kan, aku bilang, 'pulang dari sana', Cantik," Rona menepuk bahu Aussieㅡatau tepatnya, menabok. Membuat Aussie melayangkan tatapan protes.
Omong-omong, mereka masih di posisi tadiㅡAussie meringkuk di rebahnya layaknya bayi beruang di rengkuhan Rona. Oh, dan, ya, Rona naik dan duduk di atas bangsal di kamar inap Aussie demi memeluknya seperti itu. Gadisnya jadi sepuluh kali lipat lebih manja, tapi ia jauh lebih suka.
"Ya udah," final Aussie.
"Ya udah apa?" sahut Rona, "Nikah?"
Sebentar ia diam. Menyembunyikan kepalanya di rengkuhan Rona. Seraya tersenyum salah tingkah, ia mengangguk kecil. Kemudian terbahak sambil menepuk bahu Rona.
Rona terkekeh, mengusap ubun-ubun Aussie sebagai gantinya. "Bertahan satu tahun lagi, ya? Habis ini kita lulus SMA, ngurusㅡmungkinㅡbeasiswa, apa segala macam. Terus, nanti, kita kuliah berdua di Australia. Tetanggan kosan kita. Keren, nggak, sih? Pulang dari sana, nikah, deh, ahahaha. Gitu, ga?"
"Iyaaa," sahut Aussie lirih, sebab salah tingkah menguasainya, "Kamu jangan sering-sering ngusep pala orang dong, ih!"
"Lah, kenapa?"
"Aku ... jadi salting,"
Jujur, sebuah pencapaian besar bagi RonaㅡAussie saking salah tingkahnya sampai mengaku sendiri.
Setelah mengatakan itu, Aussie justru terbahak seraya menabok pundak Rona. Rona protes, "Heh? Kenape siiii,"
"Aku jadi nggak sabar, abis kamu timpalin begitu," deham Aussie, "Bayangin tinggal di luar negeri bareng Nana. Di Australia lagi!"
Anjrit. Nana, gak, tuh.
Rona sontak terkekeh kalem walau jantungnya sudah berdebar lebih kencang dari biasanya. Ia mengangguk, "Iyaa, kan? Nanti setiap akhir pekan, misalnya, kita naik sepeda tandem dan ngerjain tugas di taman sambil makan es krim,"
Aussie tak tahan lagi untuk tidak terkekeh geli. "Terus, belanja bulanannya bareng, karena kamu lebih tahu apa yang harus dibeli," kikik Aussie. Mengundang tawa dari Rona, "nggak salah," sahutnya.
"Apalagi, ya?" ganduh Aussie, "Oh, kalo musim musim gugur! Pasti main di taman bakal seru abis! Ngitarin kota pake sepeda tandem, ditiupin udara super dingin, dan sekitaran kita cuma daun-daun kuning. Gila, pasti nenangin banget!"
"Iyaa, itu pasti seru, sih," tokok Rona, "Kalau lagi musim semi juga, ayo jalan-jalan. Yaah, taman pasti ramai, tapi pemandangan bakal cantik banget,"
"Iyaaa!" sambut Aussie ria, "Aish, Nanaaaa, aku jadi gak sabar!"
"Bentar lagi," kekeh Rona lembut.
Mereka suka mencetus masa depan seperti ini. Memimpikannya begitu calak layaknya menceritakan yang sudah-sudah. Tapi seru sama sekali.
Biarlah kalau realitasnya tak seperti itu. Mereka janji akan mengusahakan apa saja.
akhirnya up ygy >< 💗
KAMU SEDANG MEMBACA
krayon patah. [tercekal sementara]
Fanfiction❝Tentang krayon yang patah. yang masih bisa mewarnai. Tentang jiwa yang sepah. yang masih bisa mencintai.❞ 2O21 ; ©STARAAAAA-